Jika dianggap bahwa desa - kota sebuah wilayah budaya dan lingkungan, maka dipastikan karakter anak desa berbeda dengan anak kota. Karena lingkungan dan budayanya membentuk cara belajar & cara mengerti secara berbeda. Pembagiannya antara desa-kota, sebaiknya jadi tiga wilayah, yaitu : kota - daerah penyangga kota (sub urban) - dan desa.
Jika ada pendapat bahwa siswa "pinggiran" yang 'sulit' belajar dari kalangan ekonomi bawah, tidak sepenuhnya benar. pertama, anak anak itu merupakan produk budaya penyangga (sub urban), yaitu budaya yang melahirkan generasi yang keras, dan gamang antara kemajuan kota ddan tradisi pedesaan. Dalam diri seorang anak sub urban, bercampur 2 sistem nilai yang saling bertarung. Daerah penyangga kota, adalah daerah yang menerima ampas/residu peradaban kota. Kriminalitas, krisis identitas, disorientasi diri, dan sejenisnya biasanya cukup kental pada masyarakat seperti ini. Nah jika pembelajaran (tepatnya sekolah) tidak mengerti ini, maka anak bukannya belajar dengan baik, tetapi yang terjadi malah perbenturan nilai, yang berdampak pada model model penaklukan anak oleh guru. Pembelajaran yg gagal!
Tentang anggapan anak dari desa yg 'sulit' belajar, anggapan itu keliru besar. Yang keliru bukan anaknya, tetapi pembelajarnnya yg keliru. Desa menyediakan sumber belajar yang amat berlimpah bagi pembentukan integritas yang baik. Di lingkungannya tersedia materi belajar yang terintegrasi antara sain, teknologi, reliji, art & culture.
Terlalu sederhana jika menyimpulkan anak desa sulit belajar. Sulit belajar dalam arti kesulitan untuk beradaptasi atas perubahan-perubahan yang didesign oleh guru. Guru harus mendesign kurikulumnya termasuk metode dan media belajarnya mengikuti kondisi lingkungan dan budaya. Bisa jadi model student centered dengan mengimitasi model kota akan gagal, namun student centered dengan mengadaptasi kehidupan sosial dan budaya di desa akan efektif.
Menurut pengalaman dan pengamatan beberapa guru yang pernah mengajar di desa, anak desa lebih lugu, lebih jujur, lebih hormat, lebih terbuka, lebih santun, tidak mudah meledak-ledak emosinya, lebih tenang pembawaannya, lebih halus bertutur kata.
Dalam proses pembelajaran tidak terlalu jauh berbeda dengan anak-anak kota. Bahkan ada kecenderungan anak desa lebih rajin. Jika anak desa diidentikkan dengan anak petani, ada kecederungan meraka lebih santai bersikap, tidak grusah-grusuh. Kesan santai ini yang kemudian ditangkap sebagai kelemahan ethos kerja. Padahal hanya dengan mengelola sawah organik atau tabung pohon seluas 10 Ha secara swadaya, maka dalam lima tahun, pendapatan mereka jauh lebih baik dari professional di kota.
Intinya, jangan jadikan anak desa seperti anak kota, itu penjajahan. Karena cara seperti itu akan mencerabut anak dari akar budayanya. Budaya kota, tidak selalu berarti lebih baik