Membangun Mimpi dari Kampung Rama-rama

“Ibu, bagaimana kami bisa berkreasi dalam mengajar, jika kami hanya dituntut meluluskan anak 100% dalam Ujian Nasional (UN)? Apa yang harus kami lakukan?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu kerap diterima Dewi Utama Faizah dari para guru. Kebijakan pendidikan yang dibuat Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), menurutnya, banyak yang baik. Hanya, filosofinya kurang dipahami sehingga hasilnya jauh dari nilai kebajikan dan keindahan hidup.

Di tengah kondisi ini, tak sedikit pihak yang mendukung Dewi untuk mengembalikan hakikat pendidikan. Bahwa pendidikan itu harus berawal dari ranah domestik agar cita-cita kemanusiaan melalui kegiatan yang bermanfaat dapat terpakai dalam kehidupan sehari-hari.

Hakikat pendidikan itu, kata Dewi, sangat sederhana; mewujudkan manusia yang mampu berkreativitas di berbagai bentuk lapangan penghidupan. Jadi, tak sekadar menghasilkan tenaga kerja usai menempuh pendidikan, seperti yang selama ini terjadi.Anni Iwasaki, dari Pusat Studi Jepang Untuk Kemajuan Indonesia, yang juga sahabat Dewi, termasuk yang mendukungnya. ”Kita butuh orang seperti Ibu di Kemdiknas,” kata Anni.

Jepang yang Penuh Inspirasi

Pada 1991, Dewi memperoleh beasiswa Monbusho dari pemerintah Jepang untuk melanjutkan kuliah di Miyagi University of Education.

Sepulang dari sana, Dewi merasa mendapat pencerahan, khususnya tentang pendidikan anak usia dini dengan dasar kecintaan pada alam.
Memang, kita sudah punya banyak sekolah alam. Tapi, kata Dewi, kita dangkal dalam memahami sesuatu. Ketika muncul tren kembali ke alam, semua berlomba-lomba ikut.

”Termasuk sekolah alam, ada di mana-mana. Tapi filosofi kesemestaannya kurang dipahami. Jadi semacam gaya hidup artifisial saja, tidak melihat isyarat yang tersirat di balik itu semua,” urainya.

Bandingkan dengan masyarakat Jepang. Salah satu contoh kecintaan mereka kepada alam, ungkapnya, tercermin dalam syair berikut.

matahari adalah mata penglihatan kita
langit biru adalah hati sanubari kita
angin adalah nafas kehidupan kita
laut dan gunung adalah tubuh kita yang terbentang.

Gunung diibaratkan sebagai kekasihnya laut. Kalau gunung rusak, laut akan sedih. Karena plankton, makanan ikan, berasal dari kehidupan gunung yang subur. Di mana saja orang Jepang berada, mereka memegang filosofi mori wa umi no koibito ini.
Makanya, pulang dari Jepang Dewi langsung mengambil cuti dua minggu untuk pulang kampung ke Sumatera Barat, membawa buah hati melihat padi. “Anak-anakku, ayo kita lihat 'pohon nasi',” ajak Dewi pada tiga anaknya yang pernah menanyakan seperti apa pohon yang menghasilkan nasi yang disantap setiap hari itu.

Belajar dari Laboratorium Alam

Anda pernah melihat tulisan ‘dilarang kencing di sini', atau 'yang kencing di sini adalah (nama hewan)’? Dewi mempertanyakan kenapa tulisan semacam itu harus ada. “Hal ini menunjukkan ada yang salah dalam kehidupan kita,” ujar doktor Pendidikan Usia Dini lulusan Universitas Negeri Jakarta ini.

Menjadikan anak-anak kita bersih dan sehat, tambahnya, ternyata tidak dianggap penting seperti halnya membaca, menulis, dan berhitung (calistung) dalam proses pendidikan kita.

Anak-anak djejali berbagai pengetahuan akademik dan hafalan, namun mengabaikan kehidupan pribadi sebagai anak manusia. ”Masa program cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir saja masih menjadi program pemerintah?” ungkapnya.

Dewi pun mengajak kita merenungi Seed Philosophy, bahwa segala sesuatu berawal dari biji atau benih. Makanan lezat, serat indah dan bahan bakar yang bermanfaat itu semua berasal dari biji. Aneka biji itu menjadi bagian penting sepanjang kehidupan makhluk di dunia ini. Anak-anak harus diberi pemahaman mengenai hal ini!

"Menghadirkan lingkungan alamiah yang dekat dengan anak, membuat mereka akan belajar menjadi bagian dari alam. Dengan memahami hal ini, insya Allah mereka akan menjadi khalifah bagi semesta,” urainya.

Kebijakan Zona Merah, Oranye, Hijau tiap kali menjadi pemateri seminar atau workshop, peraih Kehati Award 2002 ini selalu menyerukan para perempuan agar kembali pada perannya sebagai ibu kehidupan di ranah domestik. Mustahil, katanya, melahirkan anak-anak yang sehat, baik dan hebat dengan menyerahkan pengasuhan anak sepenuhnya ke pembantu atau babysitter.

Lalu bagaimana jika dengan suatu alasan sang ibu memilih untuk bekerja? Menurut Dewi, kita harus adil menilai, apa kondisi yang membuat seorang ibu harus bekerja. Di kantornya yang kebanyakan stafnya adalah perempuan, Dewi menyosialisasikan kebijakan zona merah, oranye, dan hijau. Apa itu?

“Untuk ibu muda yang memiliki bayi dan balita, mereka berada di zona merah. Artinya tanda kritis, sewaktu-waktu ada masalah dengan balitanya, mereka diberi keistimewaan,” terangnya.

Demikian juga orangtua yang memiliki remaja. Mereka berada di zona oranye, yang berarti ada kelonggaran tetapi kondisinya tidak sekritis yang berada di zona merah. Sementara staf usia di atas 50 tahun, mereka berada di zona hijau sebagai ibu kehidupan. Mereka dalam posisi yang matang, siap berbagi pengalaman dan kebajikan kepada rekan yang masih muda, dan siap membantu tugas ibu-ibu manusia muda yang berada di zona merah dan oranye itu.Penerapan hal ini merupakan wujud untuk melahirkan ”ibu-ibu pendidik” dari staf perempuan yang bekerja.

Pekerjaan Sejak Kecil

Masa kecil Dewi penuh dengan kebahagiaan. Salah satu pengalaman yang masih ia kenang adalah saat ia beserta adik-adik dan teman-temannya membuat ”bioskop” di kandang di bawah rumah gadang seusai mengaji.

Berbekal lampu minyak dan layar dari kain putih--pembatas shaf shalat yang diambil tanpa ijin pengurus masjid—bioskop mini digelar. Para penonton harus membayar dengan karet gelang. Esoknya, karet-karet gelang yang terkumpul itu dijalin hingga menjadi seperti tali. ”Itu untuk bermain tali merdeka,” ujar Dewi.

Mereka menonton film di antara bebek, kambing, dan ayam yang sedang tidur. Dewi dan teman-temannya juga membuat cerita dengan tokoh boneka yang terbuat dari tangkai daun singkong yang digerak-gerakkan. Penonton riuh bertepuk tangan sehingga membangunkan seisi kandang.

"Keluar dari kandang itu, muka kami celemotan penuh jelaga dan segala macam bau yang melekat di badan. Tapi kami senang sekali,” ungkapnya sembari tersenyum.
Bagi Dewi, permainan adalah arena unjuk kerja dan karya, belajar gagal dan merasakan sebuah proses kehidupan. ”Ketika kita dewasa justru permainan-permainan di masa kanak-kanak itulah yang menjadi spirit kita meretas karir dan menyelamatkan hidup kita,” paparnya.

Ia merefleksikan dirinya sendiri. Konsep pendidikan usia dini yang saat ini getol ia sampaikan ke sana-sini adalah dengan mengangkat permainan tradisional berbagai suku di Indonesia. Dari bermain di sawah, dengan angin, air hujan, rerumputan, rama-rama dan capung, ia belajar membuhul cintanya pada Allah yang Maha Indah.

Kampung Rama-rama

Dewi juga terinspirasi dari almarhum ibunda dan neneknya. Dua perempuan hebat itu memberantas buta huruf di desanya di Padang dengan cara amat sederhana dan tanpa dana sesen pun.

Kini, peraih Piagam Satyalancana Karya Satya 2007 ini ingin melanjutkan perjuangan ibundanya dengan membangun sekolah. Bersama Yayasan Jembatan Pekerti yang dibinanya, Juni ini ia membuka TK Pedesaan Kampung Rama-rama di Cibubur, Jakarta. Sebagian dana berasal dari bantuan pemerintah, dan sumbangan sahabat-sahabatnya.

Di atas tanah wakaf seluas 500 meter, Dewi membangun mimpinya. Mengajarkan anak mampu mandiri–bisa memenuhi kebutuhan pribadinya, seperti toileting–bermain, berteman banyak, mewujudkan kecakapan sosial untuk berbagi dan peduli.
Anak-anak berkebutuhan khusus juga mendapat tempat di hatinya dan mesti hadir di sekolah itu. Dewi berharap ada generasi yang peduli kepada sesama dan lingkungannya serta mampu hidup bahagia di semesta alam secara inklusif, bukan eksklusif.

Rama-rama berarti kupu-kupu. Proses menjadi rama-rama membutuhkan rentang masa yang tak sedikit. Bagi Dewi, anak-anak ibarat ulat-ulat yang unik dan rakus melahap apa saja. Keingintahuan mereka tinggi. Ia berharap, orangtua tidak tergoda untuk mengambil langkah instan menggegas ulat-ulat lucu itu menjadi kupu-kupu.
Seekor rama-rama adalah penghulu semesta yang mengijabkabulkan segala bentuk tanaman, untuk kelangsungan hidup seluruh alam. Indah bukan? Aini Firdaus

sumber:http://www.ummi-online.com/berita-189-dewi-utama-faizah-membangun-mimpi-dari-kampung-ramarama.html