Orientasi dari Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) baru di bawah komando Pak Nuh kepada pendidikan karakter agaknya sudah tepat. Karena problem utama bangsa Indonesia sekarang ini pada hakikatnya bukanlah soal intelektual, melainkan moral yang berpangkal pada karakter.
Kalau soal intelektual tidaklah perlu terlalu diributkan, karena kalau kita sering dengar betapa putra-putri kita hampir selalu mendapatkan medali emas untuk olimpiade sains tingkat dunia. Namun yang perlu diperhatikan secara lebih serius adalah problem moral, seperti korupsi, ketidakjujuran, pornoaksi, kriminalitas, dan bahkan terorisme. Dari praktik pendidikan, yang digembar-gemborkan untuk mengatasi problem tersebut adalah dengan memberikan keteladanan yang baik dalam segala hal, baik oleh guru, orangtua, maupun masyarakat.
Pada beberapa kesempatan diskusi dengan para praktisi dan guru, keteladanan memang harus diberikan. Namun bagaimanakah rumusan konseptualnya, prioritas-prioritas yang harus dilakukan, serta praktiknya secara nyata? Di sisi lain, banyak juga yang berupaya untuk membentuk karakter siswa dengan bertumpu pada kurikulum. Walaupun begitu, dengan mengemukanya konsep keteladanan, sebenarnya telah terjadi pergeseran paradigma dalam upaya untuk mengatasi masalah moral tersebut, yakni dari berbasis pada kurikulum resmi (official curriculum) menuju pada kurikulum tersembunyi (hidden curriculum).
Dalam kajian kurikulum (curriculum studies), kurikulum tersembunyi adalah nilai-nilai, kultur, pengetahuan, dan ideologi yang diajarkan, dipelajari dan memengaruhi siswa, namun tidak termasuk dalam kurikulum resmi sekolah atau kampus (Margolis, 2001; Apple, 2004). Satu contoh riil dari kurikulum tersembunyi adalah ketika siswa belajar menyontek di sekolah, belajar tidak jujur, dan bahkan mahasiswa belajar korupsi di kampus. Dari contoh tersebut dapat dikatakan bahwa kultur yang berlaku di sekolah dan kampus, baik dalam komunikasi, interaksi, cara menyikapi aturan birokrasi dan lainnya itulah kurikulum tersembunyi yang turut membentuk nalar pikir dan sikap siswa dan mahasiswa.
Di sinilah mestinya, upaya untuk membangun karakter siswa, dalam rangka mereduksi problem sosial (misal: korupsi, terorisme, ketidakjujuran, pornoaksi) lebih mendasarkan pada kurikulum tersembunyi. Kalau sekadar mendasarkan pada kurikulum resmi, maka relatif akan terulang kegagalan Orde Baru dalam membentuk manusia Pancasila melalui indoktrinasi P4. Dalam konteks sekarang, soal korupsi tidak cukup hanya diberikan pengertian, keburukan dan pencegahannya melalui kurikulum resmi, karena kurikulum resmi relatif sekadar menekankan pada aspek kognitif ketimbang afektif.
Hal tersebut tentu tidak tepat, karena korupsi bukanlah soal kognitif, melainkan afektif. Oleh karena itu, orang boleh saja pintar dan tahu betul soal korupsi, tapi tidak ada jaminan ia tidak akan melakukan korupsi. Dengan begitu yang lebih tepat sebagai basis pendidikan karakter adalah kurikulum tersembunyi yang memang ranahnya adalah afektif. Salah satunya tentu dengan keteladanan, lainnya adalah melalui bangunan kultur, nilai-nilai dan pengetahuan yang secara inheren beroperasi dalam keseharian di lingkungan belajar. Tantangan yang dihadapi memang kemudian tidak kecil, kebijakan seperti Ujian Nasional (UN) dan sejenisnya justru di lapangan sangat nyata kontradiktif dengan semangat membangun karakter positif bagi siswa.
Namun strategi pendekatan dengan kurikulum tersembunyi saja tidak cukup, karena juga diperlukan dasaran konseptual dan praktis yang cukup kuat untuk membuat siswa dan mahasiswa betul-betul sadar dari dirinya sendiri bahwa praktik korupsi, pornografi dan terorisme misalnya, memang betul-betul tidak baik dan merugikan banyak pihak. Selain itu yang juga perlu dijawab adalah: karakter yang bagaimanakah yang perlu dibangun dan kembangkan? Ya, memang karakter antikorupsi, antiterorisme dan sejenisnya, namun apa dasar sosio-kultural-ideologisnya?
(Pengantar di atas saya kutip dari Tulisan Edi Subkhan dalam perspektif Pedagogi Kritis, beliau menawarkan landasan pedagogik kritis yang intinya mengajak pada pelibatan sosial. Namun agar lebih adil, saya coba bandingkan dengan beberapa pilihan landasan pemikiran yang lain...)
Berikut landasan atau dasar yang dapat digunakan dalam pendidikan karakter, diantaranya adalah:
1. Membangun karakter melalui penanaman nilai-nilai ideologis (system kehidupan) yang diyakini lalu dipraktekan secara pribadi 24 jam sehari (pengajaran, pelatihan, pembiasaan, dan pembinaan). Artinya, pendidikan agama dan moralitas dipadukan dengan pendidikan karakter, sebagaimana yang dilakukan banyak pesantren atau sekolah agama dengan pendidikan adab (karakter bertauhid), dimana tauhid dijadikan fondasi bangunan karakter keseluruhannya.
Dalam pandangan ini, pengembangan karakter saja tidak cukup, dia memerlukan nilai-nilai tauhid atau relijius, karena bisa saja seorang atheis yang baik hati, dermawan, tidak korupsi dstnya memiliki karakter yang baik.
Dalam perspektif pilihan ini, saya sangat sependapat namun sayangnya, walau system kehidupan yang diyakini menekankan keshalehan individu dan keshalehan sosial, tidak banyak dijumpai pendidikan agama (ada muatan agama) yang mengintegrasikan pendidikan karakternya dengan aspek pelibatan social, dalam arti mengajak siswa dan mahasiswa untuk kritis mencari solusi terhadap permasalahan sosial lalu secara aktif menemukan solusi serta melakukan pemberdayaan sosial.
Tanpa pelibatan sosial, maka pendidikan adab hanya akan menjadi indoktrinasi ideologis yang menjauhi ummat dari realitas peradabannya. Dalam hal pendidikan karakter dengan pelibatan sosial, mungkin pesantren Hidayatullah dan pesantren modern Gontor bisa menjadi rujukan.
Di sisi lain, dengan model klasikal seragam yang biasanya diterapkan, sulit akan dijumpai pendidikan karakter yang terintegrasi dengan pengembangan keunikan potensi keunikan individu masing-masing.
2. Membangun karakter melalui pelibatan sosial sebagaimana yang diusung pedagogik kritis. Dalam pandangan ini, karakter (berupa nalar pikir, sikap dan aksi seseorang) pada dasarnya memang lebih mudah dibangun dengan aksi nyata, dalam pedagogi kritis adalah pelibatan sosial, bukan semata-mata dengan cara belajar di kelas, apalagi indoktrinasi. Secara praktis, dalam pelibatan sosial tersebut, siswa dan mahasiswa misalnya, harus kritis terhadap lingkungan sekolah dan kampus sendiri, juga lingkungan masyarakat sekitarnya. Satu prinsip pedagogi kritis dari Freire, Ki Hadjar dan Tan Malaka, dalam konteks ini juga termasuk Ahmad Dahlan yang harus digunakan adalah: jangan mencerabut siswa dari kehidupan rakyatnya, masyarakatnya.
Dalam perspektif pilihan ini, saya sependapat. Namun, sebagai Muslim, saya melihat kekurangan dari pedagogik kritis ini ialah pada tidak tegasnya memasukkan nilai-nilai relijius yang juga seharusnya diintegrasikan melalui keteladanan kehidupan yang berporos pada Tauhid. Saya tidak menemukan ini pada Taman Siswa.
Dalam hal ini Muhammadiyah tempo dulu sebenarnya bisa ditiru bagi para penggagas sekolah islam yang ingin menerapkan pendidikan Islam Kritis Transformatif. Kritis terhadap realitas ummat dan melakukan transformasi peradaban.
3. Membangun karakter melalui pengembangan potensi keunikan manusia atau individu. Dalam pandangan ini karakter bisa dikembangkan bersamaan dengan penajaman potensi bakat serta kecerdasan manusia. Karakter-karakter keberanian, kepedulian, kepemimpinan dstnya akan bisa dibiasakan dan dimunculkan selama proses pengembangan potensi keunikan individu.
Termasuk dalam pandangan ini pula bahwa karakter bisa dibangun dengan memperhatikan pola asuh dan komunikasi secara individual pada fase-fase kritis perkembangan manusia sebagaimana digagas oleh pendidikan parenting. Yang dikedepankan oleh parenting adalah pendidikan individu di rumah melaui komunikasi intensif dan pembiasaan-pembiasaan yang baik.
Dalam perspektif ini, dirasakan kehilangan pada dua hal sebelumnya di atas, yaitu aspek Tauhid dan aspek Pelibatan Sosial secara bersama. Memang ada beberapa penggagas dan penggiat parenting yang memasukkan unsur tauhid seperti spiritual parenting dan yang lainnya, kemudian memberikan dorongan untuk pelibatan sosial secara aktif, namun dalam skala yang terbatas. Secara keseluruhan pada pendekatan ini, hal pelibatan sosial dan nilai-nilai tauhid dianggap hanya "pelengkap" atau mungkin dianggap sebagai sudah "seharusnya ada".
Hal lainnya adalah, senada dengan pendidikan karakter melalui pengembangan potensi keunikan individu dan pertumbuhan psikologis-sosialnya, maka pendidikan karakter juga dapat melalui pengamatan dan sentuhan dengan alam semesta (tafakur & tadabur kauniyah). Hal ini kita jumpai pada pendidikan berbasis alam. Begitupula pendidikan karakter dapat dikembangkan pada pendidikan yang berorientasi Lifeskill atau kehidupan.
------------------------
Saya kira kita lebih menyukai menggabungkan ketiga pendekatan di atas, artinya pendidikan karakter dapat secara bersamaan dikembangkan baik melalui keteladanan, melalui penanaman nilai-nilai tauhid, melalui pelibatan sosial serta melalui pengembangan potensi bakat kecerdasan individu, serta melalui proses tafakur di alam dan pengembangan lifeskill.
Wallahu a'lam
Sumber : Millenial Learning Centre