Catatan Pendek Dari Sebuah Seminar

Berikut saya posting sebuah tulisan dari Akh Harry Santosa. Semoga bermanfaat.



Kemarin saya diundang dalam sebuah seminar dari sebuah Komunitas untuk membahas mengenai masa depan produksi Minyak dan Gas (Migas). Seminar sehari penuh ini dihadiri tidak kurang dari 200an orang dari berbagai komunitas dan afiliasi baik pengamat, staf BUMN, pelaku industri sampai kepada serikat pekerja dan mahasiswa PetroGas.

Kehadiran saya, selain diundang
 sekjennya yang sama-sama alumni SMNA 8 Jakarta, juga awalnya dipicu oleh ketertarikan saya sesuai profesi, yaitu pada sisi monitoring control manajemen proyek terhadap KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama), yaitu perusahaan2 yang mendapat kontrak untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi seperti Chevron, Conoco Philips, Exxon Mobile dsbnya, terkait dengan penggunan dana investasi yang dikeluarkan selama masa eksplorasi dan development sumur. Dana investasi ini (AFE - Authorization for Expenditures) harus dikembalikan ketika sumur sudah mengeluarkan minyak atau gas.



Dalam pemaparan sejumlah pakar dan praktisi termasuk stakeholder dari pemerintah, dpr dan perusahaan migas, terungkap betapa parahnya Tatakelola Minyak dan Gas di Indonesia. Beberapa kesalahan fatal yang mirip-mirip dengan pengelolaan sektor pendidikan, diantaranya:

1. Kebijakan Migas Indonesia tidak Berdaulat

Filosofis ideologis dari produksi Migas di Indonesia adalah Ketahanan Energy, bukan Kedaulatan Energy. Kelihatannya sederhana, namun ada beda yang sangat jauuh antara ketahanan dan kedaulatan.

Lihatlah bahwa landasan dari filosofis ideologis inilah lahir berbagai kebijakan yang melanggar UUD 45 pasal 33 ayat 1 dan ayat 2. Bahwa bumi, air, mineral dan seisinya(hulu) dikuasai oleh negara dan digunakan sebesarnya untuk kemakmuran rakyat. Cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak (hilir) dikuasai oleh negara.

Menurut saya UUD ini sangat dekat dengan syariah, yang mengamanahkan pengelolaan dan pemanfaatan kandungan kekayaan alam kepada penduduk yang menempatinya.

Dalam tataran pelaksanaannya negara menyerahkan kekuasaan mengekplorasi dan mengeksploitasi "isi perut" bumi ini kepada perusahaan-perusahaan swasta. Ini pengkhianatan terhadap amanat UUD 45. Sampai tahun 2001, UU no 8 tentang Migas tahun 1971, masih mengatur negara untuk menguasakan kepada BUMN (Pertamina), lalu BUMN lah yang melakukan kontrak (PSC - Production Sharing Contract) dengan para perusahaan swasta.

UU no 8 tahun 1971 ini justru diadopsi oleh Malaysia pada tahun 1975, yang menguasakan migas kepada BUMN nya yaitu Petronas. Pada hari ini produksi Petronas 5 kali dari Pertamina.

Kesalahan filosofis ini, dibuktikan dengan lahirnya UU no 22 Tahun 2001, yang mengatur tatakelola migas. Sebuah peraturan gegabah yang membolehkan negara menguasakan kekayaan alam berupa migas kepada perusahaan swasta secara langung. Bayangkan bahwa negara yang tidak berdaulat ini, "make a deal" secara langsung dengan swasta untuk kekayaan kandungan perutbumi.

Tidak hanya sumbernya yang dikuasai perusahaan swasta yang kebanyakan asing, namun pembangunan infrastruktur, import konten dan penentuan harga distribusi ditentukan oleh perusahaan-perusahaan ini. Luar biasa penjajahan model baru mirip VoC ini.

Usut punya usut ternyata UU ini adalah hasil "pemaksaan" dari IMF, ketika negeri ini mengemis hutang tahun 1998. Anda tahu siapa yang menggagasnya menjadi RUU? Dia adalah mantan Mentamben di era almarhum Gus Dur, siapa lagi kalau bukan Susilo Bambang Yudhoyono. :-D

Peran Pertamina sejak UU no 8 tahun 1971 ini, memang menyebabkan monopoli dan banyak korupsinya, namun setidaknya amanah UUD 45 sudah dipenuhi dan terbukti Pertamina cukup perform dengan produksi terus meningkat dalam rentang 1971 - 2003. Pembenahan teknis yang diperlukan, bukan perubahan filosofis yang bertentangan dengan amanah UUD.

Beberapa saat yang lalu MK sudah menghapus beberapa pasal dalam UU no 22 tahun 2001

2. Negara terburuk dalam Produksi Migas

Indonesia negara terburuk dalam produksi migas, di Asia Pasifik. Bahkan di bawah Papua Nugini dan hanya unggul 1 level di atas Timor Leste, mantan provinsinya sendiri. Di Dunia peringkat ke 118 dari 133 negara.

Semenjak negara memberi kekuasaan kepada swasta, produksi Migas terus menurun dan anehnya negara tidak pernah punya cukup data untuk mengetahui kandungan kekayaan migas yang sesungguhnya, kecuali "manut saja" terhadap data-data yang diberikan. Sumur-sumur baru tidak sampai 20an dalam setahun, tetapi Malaysia dan Vietnam bahkan mampu sampai lebih dari 50 sumur baru dalam setahun.

Walau demikian baik Malaysia maupun Vietnam cukup ketat menerapkan UU pelestarian lingkungan.

Produksi gas meningkat, tetapi sebagian besar produksinya dialirkan ke China, sementara PLN kekurangan Gas, pelaku usaha juga kekurangan Gas, dan tentunya rakyat yang menderita kekurangan pasokan listrik dan mahalnya biaya transportasi BBM.

Perhatikan bahwa pendapatan negara dari sektor migas hanya 12% (156 T) dari total sekitar 1300 T. Justru anehnya, subsidi yang harus dikeluarkan untuk sektor energi terkait BBM, Listrik adalah 168 T. Jadi sesungguhnya migas yang dikeluarkan dari perutbumi bangsa ini justru menjadi beban kehidupannya.

Bukan salah Tuhan, bukan salah iklim dan jumlah penduduk, ini salah kelola yang berangkat dari kepemimpinan yang buruk. Kepemimpinan yang berangkat dari mental dan perilaku siap dan layak dijajah. Teringat ucapan Emerson "...masalah kalian ada di seputar karakter kalian".

Sampai disini, saya kira kita bisa mulai merenung dan mengira-ngira, karakter kepemimpinan seperti apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh negeri ini? Karakter kepemimpinan seperti apa yang seharusnya ditanamkan kepada anak2 kita kelak mereka memimpin negeri ini?

Kepemimpinan yang berdaulat sesungguhnya yang menjadi tugas dan tanggungjawab pendidikan di negeri ini, baik berbasis sekolah formal, sekolah alternatif, di rumah maupun di komunitas.

Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sampai kaum itu merubah realitas mental dan karakternya. Begitulah Allah swt memberi jalan keluar dan begitulah seharusnya pendidikan kita orientasikan dan kita mulai.

Huwallahu a'lam