Oleh Ervan Navre
Kedua belahan otak itu dijembatani oleh bundel “urat” syaraf yang disebut corpus collosum. Sisi kanan dan kiri tubuh saling berkoordinasi melalui jembatan ini. Aktivitas motorik kasar seperti lompat tali, memanjat, lari, serta aktivitas motorik halus macam menggambar, merenda, membuat origami, dan bikin kue merupakan akitivitas penting bagi proses mielinasi C. collosum. Jalur ini memungkinkan kemampuan berpikir analitis (otak kiri) dan intuitif (otak kanan) untuk saling mempengaruhi. Sejumlah ahli neuropsikologi percaya, buruknya perkembangan jembatan ini mempengaruhi komunikasi efektif antara belahan otak kanan dan kiri. Diduga, inilah penyebab timbulnya kesulitan perhatian dan belajar pada anak.
Pertanyaannya kemudian, apa kerugian otak dengan menonton televisi ?Televisi sesungguhnya hanya memberikan informasi kepada dua indera: mata dan telinga. Padahal ketajaman visual dan pandangan tiga dimensional pada anak belum berkembang sepenuhnya sampai usia empat tahun. Gambar yang dihasilkan layar televisi itu gambar dua dimensi, tidak fokus dan kabur karena tersusun dari titik-titik sinar. Itu membuat mata anak-anak harus memaksa diri agar gambar menjadi jelas. Televisi, juga barang elektronik lain, memancarkan gelombang elektromagnetik. Maka disarankan, posisi menonton setidaknya 120 cm dari TV dan 45 cm dari layar komputer. Sistem visual yang meliputi kemampuan mencari (search out), memindai (scan), memfokus, dan mengidentifikasi apa yang masuk ke bidang pandang, terganggu oleh kegiatan menonton TV. Padahal keterampilan visual ini perlu dikembangkan dalam kaitannya dengan membaca efektif. Saat menonton, pupil mata anak tidak melebar, dan nyaris tidak ada gerakan mata yang justru penting dalam kegiatan membaca. Mata dituntut terus bergerak dari kiri ke kanan halaman saat membaca. Kemampuan untuk memusatkan perhatian juga mengandalkan sistem visual ini. Sementara itu gambar-gambar televisi yang berubah secara cepat tiap 5 – 6 detik pada kebanyakan tayangan acara dan 2 – 3 detik pada iklan, membuat otak pikir tidak punya kesempatan memproses image. Padahal otak pikir perlu 5 – 6 detik untuk memproses gambar begitu mendapat stimulus.
Sebabkan kecemasan kronis
Membaca buku, berjalan-jalan di alam, atau bercakap dengan orang lain – di mana anak punya kesempatan untuk merenung dan berpikir – jauh lebih mendidik daripada menonton TV. Kegiatan ini meniadakan pengalaman berharga itu. Menonton TV merupakan pekerjaan tanpa akhir, tanpa tujuan, dan tak bikin “kenyang”. Tidak seperti makan dan tidur yang bisa bikin perut kenyang dan badan tidak capek lagi, menonton TV tidak ada ujungnya. “TV membuat anak ingin terus menonton tanpa pernah merasa puas,” ungkap Susan. Bagaimana dengan Sesame Steet, misalnya? Bukankah acara itu mendidik dan di sana anak diajari cara membaca? Sesame Street dan kebanyakan acara televisi untuk anak, papar Susan, meletakkan belahan otak kiri dan sebagian belahan otak kanan ke dalam gelombang alfa (slow wave of inactivity). Televisi membius fungsi-fungsi otak pikir dan merusak keseimbangan serta interaksi antara belahan otak kiri dan kanan. Secara umum, membaca menghasilkan gelombang beta cepat dan aktif, sedangkan menonton televisi meningkatkan gelombang alfa lambat di belahan otak kiri dan kanan. Belahan kiri merupakan pusat penting dalam kegiatan membaca, menulis, dan berbicara. Otak kiri merupakan tempat di mana simbol-simbol abstrak (misalnya huruf-huruf alfabet) dikaitkan dengan bunyi. Sumber cahaya televisi yang berpendar dan bergetar diduga ada kaitannya dengan meningkatnya aktivitas gelombang lambat itu.
Otak primitif tidak dapat membedakan mana gambar riil dan mana gambar di TV karena penglihatan merupakan tanggung jawab otak pikir. Karena itu, ketika TV menayangkan gambar-gambar close-up dan gambar-gambar bercahaya secara tiba-tiba, otak primitif bersama otak limbik segera menyiapkan respons “hadapi atau lari” dengan melepaskan hormon dan bahan kimia ke seluruh tubuh. Degup jantung dan tekanan darah naik. Darah yang mengalir ke otot-otot anggota badan meningkat, bersiap-siap menghadapi keadaan bahaya. Karena itu terjadi dalam tubuh tanpa diikuti gerakan-gerakan yang sesuai dari anggota badan, maka acara-acara TV tertentu sesungguhnya meletakkan kita ke dalam suatu keadaan stres atau kecemasan kronis. Berbagai studi menunjukkan, pada orang dewasa yang mengalami stres kronis pertumbuhan belahan otak kirinya terhenti (atrophy). Ketika otak anak dipapari rangsangan visual sekaligus suara, yang diserap hanyalah visualnya. Ilustrasi tentang fenomena ini dapat dilihat pada sekelompok anak (6 – 7 tahun) yang disuguhi tontonan video yang suaranya tidak sesuai dengan gerakan visualnya. Begitu ditanya, mereka tidak ngeh kalau suara dan gambarnya tidak klop. Itu artinya, mereka tidak menyerap isi tontonannya. Begitu pula dengan Sesame Street.
Inteligen hati
Namun, masih ada yang berkilah, “Apa salah memanfaatkan televisi sekadar untuk hiburan? Saya suka menonton film-film Disney macam Snow White.” Televisi memiliki efek begitu dalam terhadap kehidupan perasaan atau jiwa kita. Menonton televisi membuat kita terlepas dari kehidupan nyata. Di kursi yang nyaman di ruang yang sejuk dengan banyak makanan, kita duduk menonton para tunawisma, orang kelaparan atau menderita di layar kaca. Kita tersentuh melihat nasib mereka, tetapi tidak berbuat apa-apa. Orang boleh bilang, membaca buku pun dapat membangkitkan perasaan serupa tanpa berbuat apa-apa. Namun, menurut dr. Susan, saat sedang membaca buku (yang tidak banyak gambarnya), pikiran bisa berimajinasi dan punya kesempatan memikirkannya. Pikiran itu dapat menggiring anak kepada gagasan yang menimbulkan inspirasi untuk melakukan sesuatu. Televisi tidak begitu.” “Kita tidak akan lupa dengan apa yang pernah kita lihat. Otak limbik dihubungkan dengan memori, dan gambar di TV kita ingat entah secara sadar, tanpa sadar, atau bawah sadar. Maka, kita hampir tidak mungkin menciptakan imajinasi tentang Snow White dari buku cerita jika kita sudah pernah menonton filmnya. Sebaliknya, orang sering kecewa ketika menonton film setelah membaca bukunya. Imajinasi kita itu jauh lebih kaya daripada apa yang dapat ditunjukkan di layar film,” papar dr. Susan.
Ketika menonton televisi, anak-anak tidak menggunakan imajinasi sama sekali. Itu berarti bagian tertentu di otak pikir untuk menciptakan gambaran (yang merupakan fondasi bagi angan-angan, intuisi, inspirasi, dan imajinasi), kurang dilatih. Kita dibekali kemampuan yang disebut heart intelligence yang perlu dikembangkan antara lain dengan berinteraksi dengan orang lain. “Kita mengalami bahasa nonverbal mereka, misalnya bagaimana ia bergerak, bagaimana nada suaranya, apakah ia menatap ke arah lain saat bicara. Inilah cara kita belajar melihat konsistensi antara isyarat verbal dan nonverbal untuk menemukan kebenaran,” jelas dr. Susan. Televisi tidak bisa mengembangkan kemampuan itu.
Taken from Millenial Learning Centre