Masalahnya adalah Sekolah


Prof. Daniel Mohammad Rosyid
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Penasehat Dewan Pendidikan Jawa Timur 

Banyak orang tidak mengira bahwa masalah yang paling serius dalam pendidikan Indonesia saat ini justru terlalu banyak sekolah. Masalah ini muncul saat kita mulai menyamakan pendidikan dengan persekolahan. Wajib belajar diartikan wajib sekolah. Ada asumsi kuat bahwa semakin lama bersekolah pasti makin baik karena semakin terdidik.
Oleh karena itu semakin banyak sekolah didirikan, dan semakin banyak anggaran digelontorkan di sektor endidikan dengan harapan masyarakat akan semakin terdidik. Orang dengan gelar makin panjang berarti makin kompeten dan terdidik.

Padahal yang semakin kita lihat di lapangan justru sebaliknya : tawuran pelajar dan antar-warga makin sering terjadi, pornografi dan narkoba merajalela, intoleransi meningkat, korupsi merebak di mana-mana. Semakin banyak anggota DPR dan birokrat dengan gelar master dan doktor, bahkan profesor, tapi DPR adalah lembaga paling korup.

Siapa Bilang Anak Desa Sulit Belajar

Jika dianggap bahwa desa - kota sebuah wilayah budaya dan lingkungan, maka dipastikan karakter anak desa berbeda dengan anak kota. Karena lingkungan dan budayanya membentuk cara belajar & cara mengerti secara berbeda. Pembagiannya antara desa-kota, sebaiknya jadi tiga wilayah, yaitu : kota - daerah penyangga kota (sub urban) - dan desa.

Jika ada pendapat bahwa siswa "pinggiran" yang 'sulit' belajar dari kalangan ekonomi bawah, tidak sepenuhnya benar. pertama, anak anak itu merupakan produk budaya penyangga (sub urban), yaitu budaya yang melahirkan generasi yang keras, dan gamang antara kemajuan kota ddan tradisi pedesaan. Dalam diri seorang anak sub urban, bercampur 2 sistem nilai yang saling bertarung. Daerah penyangga kota, adalah daerah yang menerima ampas/residu peradaban kota. Kriminalitas, krisis identitas, disorientasi diri, dan sejenisnya biasanya cukup kental pada masyarakat seperti ini.

Menuai Masalah di Hari Esok

Tidak ada yang menyangkal bahwa mayoritas orang yang tinggal di daerah perkotaan Indonesia saat ini telah menikmati kehidupan yang jauh lebih baik. Apalagi bila anda kalangan kelas menengah. Bensin murah, listrik bisa dicuri, uang negara atau uang perusahaan bisa dengan mudah dipat-gulipatkan, penjualan naik terus, berwirausaha banyak yang mendukung, mau jadi presiden tinggal berucap, marah mudah, bebas berbicara, bahkan pelaku korupsi pun bisa memberi keterangan pers sambil tersenyum. Sekalipun harga pangan sudah termahal di dunia, kita bisa tetap makan enak. Dan meski harga properti naik terus, pembelinya tetap banyak.

Dengan segala kenikmatan itu, perilaku orang Indonesia telah berubah dalam segala sektor kehidupan. Penjualan sepeda motor di akhir tahun 2012 turun, konon karena kebijakan Bank Indonesia (15/3/2012) tentang batas minimal uang muka kredit. Namun penjualan mobil (2012) naik cukup signifikan.

Anak Tuna Netra Penghafal Qur'an


Ungkapan Mulia Seorang Anak Penghafal Qur’an Ini Bikin Air Mata Pemirsa-Penyiar TV Tumpah!

Penyiar TV Arab Saudi Al-Wathan mewawancarai anak istimewa ini. Seorang anak laki-laki tunanetra penghafal Al-Qur’an dari Mesir yang berusia 11 tahun.

Dalam wawancara itu penyiar TV Al-Wathan menanyakan perihal bagaimana ia belajar Al-Qur’an dan kebutaannya.

Semangatnya untuk menghafal ayat-ayat Allah yang mulia membuat langkah kakinya ringan untuk pergi ke tempat gurunya.

“Saya yang datang ke tempat syaikh,” katanya. “Berapa kali dalam sepekan?” tanya penyiar TV. “Tiga hari dalam sepekan,” jawabnya.

Jawaban anak ini kian membuat terkejut ketika anak ini memberitahu penyiar bahwa Syaikh yang mengajarinya Al-Qur’an hanya mengajarinya satu ayat per hari.

“Pada awalnya hanya satu hari dalam sepekan. Lalu saya mendesak beliau dengan sangat agar ditambah harinya, sehingga menjadi dua hari dalam sepekan. Syaikh saya sangat ketat dalam mengajar. Beliau hanya mengajarkan satu ayat saja setiap hari,” ujarnya.

Kita Tidak Butuh Sekolah, Apalagi Kurikulum

Kemendikbud telah menyiapkan Kurikulum 2013 yang diklaim sebagai penyempurnaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diluncurkan pada tahun 2006 lalu. Benarkah demikian? Hemat saya KTSP secara konsep jauh lebih baik, tapi dibiarkan gagal oleh Kemendikbud sendiri dengan tidak menyiapkan guru yang cakap dalam jumlah yang memadai.

Kurikulum 2013 dinyatakan sebagai respons terhadap perkembangan mutakhir sekaligus hasil sigi internasional seperti PISA, TIMSS dan PIRLS yang menempatkan warga muda Indonesia di papan bawah komunitas global di bidang matematika, sains, dan ketrampilan membaca.

Hemat saya, wacana Kurikulum 2013 berpotensi menyembunyikan dua akar masalah pokok pendidikan Indonesia saat ini, yaitu tata kelola pendidikan yang buruk (poor education governance) dan guru yang tidak kompeten. Otak-atik kurikulum jauh lebih gampang dan enak daripada memperbaiki tata kelola pendidikan dan menyiapkan guru yang kompeten.

Guru dan Perubahan

Tak dapat disangkal, guru merupakan sosok penting yang mengawal perubahan di awal abad XXI.

Guru berpikir jauh ke d epan, bukan terbelenggu ilmu masa lalu, sebab tak banyak orang yang melihat anak-anak telah hidup di sebuah peradaban yang berbeda dengannya. Sementara kurikulum baru yang belum tentu sempurna sudah dihujat, kaum muda mengatakan kurikulum lama sudah tidak relevan mengisi masa depan mereka.

Untuk pertama kali dalam sejarah, dunia kerja dan sekolah diisi empat generasi sekaligus, generasi kertas-pensil, generasi komputer, generasi internet, dan generasi telepon pintar. Terjadi celah antargenerasi, ”tulis dan temui saya” (generasi kertas), ”telepon saja” (generasi komputer), ”kirim via surel” (generasi internet), tetapi generasi terbaru mengatakan, ”Cukup SMS saja”. Yang tua rapat dengan perjalanan dinas, yang muda pakai skype.

Generasi kertas bersekolah dalam sistem linier terpisah-pisah antarsubyek, sedangkan kaum muda belajar integratif, lingkungannya dinamis, bersenang- senang, dan multitasking. Sekolah bahkan tidak lagi memisahkan kelas (teori) dari lab.

Generasi Z

Anak-anakku, generasi Z (catatan dari tetralogy seminar supermoms)

Membesarkan anak-anak generasi Z, yang lahir di tahun 2000an, tentu berbeda dengan generasi kita, ayah-bundanya. Saat kita masih kecil, tv yang ada hanya tvri. Tidak ada internet, tv kabel, games, ipad, handphone, blackberry dan lain sebagainya. Jadi kalau kita masih memakai cara yang digunakan orangtua kita dulu untuk mengasuh anak-anak kita sekarang, jelas ga nyambung dong. Atau kalau kata ibu elly risman, “basi lo!!”.

Hari Sabtu, 1 September 2012 yang lalu, saya mengikuti seminar yang diadakan oleh supermoms, dengan tema “Membesarkan anak tangguh di era digital”. Meskipun pernah baca beberapa materi bu Elly Risman dan ga terlalu asing dengan fakta-fakta yang beliau sampaikan, tapi saya tetap shock, kaget dan berkali-kali nangis. Cara Bu Elly menyampaikan materinya, seolah-olah seperti ibu yang menasehati anak, suksesss masuk ke dalam hati dan bikin mata basah. “Tolong jaga cucu-cucu saya ya nak”, katanya beberapa kali, huhuuu gimana ga mewek coba.

Anak Sebagai Pembaca yang Cerdas

“Dunia anak adalah sesuatu yang selalu segar, sesuatu yang selalu baru, selalu indah, penuh dengan keingintahuan dan kegembiraan”. - Rachel Carson
Membaca adalah suatu kemampuan manusia, yang membedakan manusia dari makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Pertama kali sesaat bayi dilahirkan, ia berusaha menangkap dan merangkai makna dari berbahasa. Mereka mencoba mencari tahu bagaimana semua itu bisa bekerja. Mereka ber-ulah dengan aneka suara tangis, rengekan manja, dan meluapkan amarah melalui bahasa tangis yang mereka mampu lakukan dengan aneka ulah dan gaya mereka yang unik. Reaksi lingkungan terutama orangtua sangatlah mereka harapkan dan kelak akan menentukan kualitas mereka sebagai manusia. Mengembangkan berbahasa mereka dengan cara bereaksi terhadap bahasa tangis tersebut merupakan titik- anjak pengasuhan yang sangat fundamental. Dari sanalah kemudian mereka akan mengembangkan insting belajar mereka sebagai anak manusia, senantiasa mereka terus-menerus bereksplorasi dengan lingkungan menggunakan semua inderawi yang dimiliki.

12 Ciri Orang Terdidik

Posting ini saya ambil dari tulisan John Taylor Gatto dari situs Yes! Magazine. Sedangkan tulisan John Taylor Gatto ini sendiri sebenarnya diadaptasi dari bukunya yang berjudul “Weapons of Mass Instruction”.

Apakah ciri orang terdidik? Apakah ia memiliki gelar kesarjanaan dari perguruan tinggi terkemuka? Atau ia memiliki nilai rata-rata Ujian Nasional di atas 9 untuk tiap mata pelajaran? Ataukah ia adalah orang yang rajin belajar Matematika (karena kalau demikian ia pasti rajin belajar yang lain juga, menurut Jusuf Kalla)?

Menurut John Taylor Gatto, bukan itu semua. John Taylor Gatto adalah seorang guru dengan pengalaman mengajar di sekolah formal selama 30 tahun di kota New York, dan bahkan ia pernah memenangkan gelar penghargaan tahunan Guru Terbaik di negara bagian New York.

Namun pengalaman mengajarnya justru membuat ia sadar bahwa murid seharusnya menghabiskan waktu lebih banyak di luar kelas daripada di dalam. Membangun karakter dan bergaul dengan komunitas jauh lebih berharga daripada belajar dari textbook atau mengikuti jadwal pengajaran yang kaku.

SEKOLAH DI JEPANG VS SEKOLAH DI INDONESIA

Anak saya bersekolah di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) kota Tokyo, Jepang. Pekan lalu, saya diundang untuk menghadiri acara “open school” di sekolah tersebut. Kalau di Indonesia, sekolah ini mungkin seperti SD Negeri yang banyak tersebar di pelosok nusantara. Biaya sekolahnya gratis dan lokasinya di sekitar perumahan.

Pada kesempatan itu, orang tua diajak melihat bagaimana anak-anak di Jepang belajar. Kami diperbolehkan masuk ke dalam kelas, dan melihat proses belajar mengajar mereka. Saya bersemangat untuk hadir, karena saya meyakini bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari bagaimana bangsa tersebut mendidik anak-anaknya.