ANAK KITA ATAU SEKOLAHNYA YANG BERMASALAH ?

Keluarga Indonesia yg berbahagia,

Ternyata anak-anak kita itu dirancang dengan kekuatan dan kecepatan berpikir yg sangat tingkat tinggi, jika dibandingkan dengan Prossesor (otaknya) Komputer mungkin setara dengan Pentium Core I3 atau I5 (Kecepatan tertinggi note book saat ini) atau bahkan lebih hebat lagi.

Namun sayangnya kekuatan dan kecepatan para orang tua dan guru sering kali berada jauh di bawah itu semisal komputer ada di kecepatan Pentium 3 atau mungkin malah dibawahnya lagi (kecepatan komputer 10-20 tahun yang silam).

Di dunia komputer kecepatan prossesornya (otak komputer) selalu di tambah (di up grade) hampir setiap tahunnya. Sementara kecepatan otak orang tua dan guru sangat jarang sekali mendapatkan up grade (penambahan melalui pelatihan, seminar, parenting dsb)Sehingga banyak anak2 yg cepat bosen belajar disekolah karena materinya itu lagi dan itu lagi, caranya itu lagi itu lagi, sangat tidak kreatif dan membosankan, miskin ide2 dan pembaharuan padahal para gurunya sudah bertahun2 mengajar disana.

Alih2 orang tua dan guru belajar menambah kekuatan dan kecepatan berpikirnya agar bisa lebih kreatif, menarik dan inovative dalam mengajar atau mengajak anak belajar, melainkan orang tua dan guru lebih suka melimpahkan kesalahan kepada murid atau anaknya.

Meskipun kita sudah punya banyak orang tua/guru yg menyadari hal ini, namun jauh lebih banyak orang tua dan guru tidak menyadari kekurangannya hingga sering kali yg dipersalahkan adalah anaknya, suka ngobrol di kelas, suka melamun saat belajar, yang katanya ADD lah, ADHD, Learning Disable, Malas Belajarlah, Malas Mencatat lah dan segudang tuduhan lainnya.

Padahal yg sesungguhnya terjadi adalah karena kita kurang inovative dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar. Coba Bayangkan dari zaman kita dulu bersekolah kira2 20-30 tahun yg lalu, hingga anak2/cucu kita bersekolah sekarang, belajar itu masih selalu di identikkan dengan mencatat dan selalu berada di ruang kelas serta PR atau pekerjaan rumah yg bertumpuk, makin banyak tumpukannya dianggap makin hebat. Dan bahkan ada sekolah yg memberikan PR untuk masa liburan sekolah, padahal liburan itu jelas2 bertujuan untuk refreshing otak anak.

Sesungguhnya anak2 kita adalah mahluk pembelajar yg canggih, yg tidak bisa lagi menggunakan cara2 belajar yg sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kecanggihan otaknya.

Anak2 zaman sekarang jauh lebih suka praktek langsung, diskusi, membongkar2, merakit, mencetak belajar luar ruang dan bukannya seharian penuh duduk di kursi mendengarkan gurunya dan latihan soal dsb...Anak2 kita lebih semangat jika belajar itu adalah proses praktek langsung dilapangan baik dengan alat ataupun tidak, setidaknya mirip dengan metode yg diselenggarakan oleh Kids Zania. (ini sama sekali bukan promo KZ lho... karena ini adalah yg paling mudah untuk dibayangkan).

Jadi jika cara pembelajarannya masih monoton dan tidak inovatif seperti ini, maka jangan kaget jika akan ada lebih banyak lagi anak yg kurang suka bersekolah atau anak yg dinyatakan bermasalah oleh guru dan sekolahnya.

Orang tua dan sekolah biasanya cenderung akan mengaitkan inovatif dengan biaya mahal sebagai dalihnya, padahal inovatif itu tidak harus menggunakan alat yg mahal, tidak harus mengeluarkan biaaya apapu, banyak sekolah2 seperti Balita Schooling Komunitas HS Bantaran Rel Pasar Minggu dll, yg memanfaatkan hal2 bekas yg murah-meriah sebagai media pembelajaran yg inovatif. Semisal pergi keluar ruangan mengamati serangga2 apa saja yg ada di sekitar halaman sekolah juga tidak perlu ada biaya tambahan, melakukan wawancara terhadap para pedagang disekitar sekolah, untuk mengetahui seluk beluk berdagang dan barang dagangan mereka juga tidak perlu ada biaya.

Jadi sebenarnya anak yg malas belajar atau kita yang malas berinovasi?
Anaknya yg bermasalah atau sekolahnya yang kurang inovatif ?