Melongok Rapot Sekolah Dasar Jepang
Oleh Ishelianti
Ini ada artikel saya jaman baheula ( 8 tahunan lalu kali ya?). Saya sedang merenung tentang banyaknya kontent dan kompleksnya tuntutan kurikulum anak SD saat ini. Terus terang, sedari kecil saya tak pernah diperintah untuk belajar atau dibimbing dalam mengerti pelajaran. Mengalir begitu saja.Tapi melihat tuntutan kurikulum saat ini, rasanya sama dengan menjerumuskan anak jika saya hanya percaya anak saya pasti bisa tanpa membimbingnya belajar secara intens di rumah.Tuntutan dan konten kurikulum khususnya pembelajaran akademik sangat tinggi. Kadang saya berpikir, apa perlu kelas satu kelas dua belajar seperti ini? Apakah ini berujung pada pengembangan kapasitas intelektual anak atau malah tidak dapat membentuk dasar akademis yang kuat sama sekali? Mudah-mudahan tulisan ini tidak basi, dan dapat menjadi masukan dan bahan perenungan saya pribadi.
Melongok Rapot Sekolah Dasar Jepang
Mengamati rapot SD Jepang, maka dapat disimpulkan bahwa rapot SD Jepang
banyak mengalami perubahan.Perubahan ini adalah hasil evaluasi yang
terus-menerus sejak masa pasca perang dunia kedua sampai sekarang. Beberapa
orang Jepang teman sekerja saya memaparkan demikian. Semua yang hampir
seusia dengan saya mengatakan bahwa rapot murid SD Jepang sekarang sangat
berubah dibandingkan rapot mereka dulu ketika SD. Para ibu yang
menyekolahkan anak-anaknya juga mendukung data ini. Rapot anak pertama dan
ketiga mereka yang terpaut beberapa tahun sangat berbeda. Baik mata
pendidikan (sebagai ganti menyebut mata pelajaran) yang dilaporkan maupun
cara pelaporannya. Ada baiknya saya uraikan secara sistematis tentang
pandangan kebijakan Depdikbud Jepang tentang pendidikan dasar yang mendasari
perubahan yang tercermin dengan berubahnya isi rapot.
Sekitar tahun 1947, sebagai negara yang baru saja kalah perang, Jepang mulai
membenahi segala bidang kehidupan masyarakatnya, termasuk pendidikan.
Evaluasi tentang sistem pendidikan, komposisi mata pendidikan tingkat rendah
(sekolah dasar) selalu menjadi bahan perdebatan hangat dan evaluasi sejak
tahun enam puluhan. Sama seperti Indonesia sekarang ini, sehabis perang
dunia II Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) juga
merupakan mata pelajaran pokok di SD. Namun, karena misi pendidikan dasar
secara integral adalah bukan hanya membentuk dasar kemampuan baca, tulis,
berhitung namun juga menanamkan ketrampilan dasar sebagai manusia sebagai
makhluk sosial. Nampaknya ini tidak tercapai dengan sistem mata pelajaran
yang hanya menekankan pada kemapuan intelektual di kala itu. Lewat
penelitian dan evaluasi panjang akhirnya Monbusho (Depdikbud) Jepang di
tahun 1988 mengumumkan untuk menghilangkan pelajaran IPA dan IPS di Sekolah
Dasar, dan menggantinya dengan mata pendidikan baru yang bisa jadi merupakan
kombinasi pelajaran IPS dan IPA diintegrasikan dengan penanaman nilai-nilai
luhur. Mata pendidikan baru ini bernama seikatsuka (seikatsu= hidup
sehari-hari, ka= istilah untuk menyebut mata pelajaran) Beberapa sub dari
pelajaran seikatsuka adalah: bagaimana hidup dengan cara yang sehat dan
aman, bergaul dengan orang-orang sekitar kita, berinteraksi dengan alam,
memanfaatkan fasilitas umum, dan sebagainya. Di samping itu, Depdikbud
Jepang mencanangkan pendidikan yang integral dan meminta semua pendidik
untuk memasukan nilai-nilai luhur ke dalam setiap mata pendidikan.
Tahun 1990, penerapan kurikulum SD dengan komposisi mata pendidikan yang
baru mulai diterapkan. Khususnya untuk SD kelas 1,2, dan 3 banyak mengalami
perubahan. IPS dan IPA yang dahulu hanya pelajaran monoton, kini digantikan
dengan mata pendidikan seikatsuka yang memasukkan unsur IPS, IPA, bermain,
dan berkomunikasi (bahasa) di dalamnya. Di dalam seikatsuka terperinci
kegiatan belajar yang mendetail di mana murid-murid kelas satu dijadwalkan
untuk bermain dan memperhatikan keadaan taman terdekat, mengenal sekolah
mereka dan orang-orang yang berperan dalam sekolah dari kepala sekolah, para
guru, penjaga kantin sampai penjaga sekolah, belajar mengurus dan menyayangi
hewan peliharaan seperti kelinci bersama-sama, memperkenalkan ayah, ibu, dan
saudara-saudara mereka dan sebagainya. Sedangkan di kelas dua, ada pelajaran
bagaimana menanam tanaman dari biji hingga tumbuh besar, berjalan-jalan
mengenal kota di mana mereka tinggal, mengadakan festival mainan dsb. Bisa
dikatakan, jumlah pelajaran yang mengharuskan anak kelas satu dan dua SD
untuk duduk tekun di meja dan pekerjaan rumah yang membuat lelah anak-anak,
menurun dengan drastis dibanding waktu-waktu lampau. Oleh karena itu
kehidupan sekolah dasar adalah hal yang menyenangkan dan mengasikkan buat
para murid, bukan lagi menjadi momok karena banyaknya beban seperti di masa
lampau.
Agaknya, perubahan dalam kurikulum SD itu juga berangkat dari falsafah
Jepang dalam mendidik generasi mereka. Yaitu: 1. Mendidik anak-anak untuk
menjadi orang yang kaya hati sehingga menyayangi, menghormati orang lain,
dan menyayangi makhluk hidup lain. 2. Mementingkan pendidikan dasar yang
sangat mendasar yang sesuai dengan karakter dan kekhasan anak masing-masing,
karena setiap anak adalah unik. 3. Memacu anak untuk mandiri dalam belajar
dan mendidik diri mereka sendiri sejak kecil. 4. Menciptakan manusia yang
menghormati budaya luhur dan dapat bergaul dalam masyarakat internasional.
Falsafah-falsafah ini sebisa mungkin harus dimasukkan dalam setiap mata
pendidikan dan difahami oleh para pendidik. Sehingga, mata pendidikan yang
dulu sangat menekankan melulu kecerdasan seorang anak, sekarang ditekankan
kepada mengembangkan ketrampilan anak untuk bersosialisai dan berkembang
sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing.
Perubahan ini pun tercermin dalam rapot anak-anak SD Jepang. Mata pendidikan
seikatsuka selain bahasa (membaca dan menulis) dan berhitung sangat ditulis
dengan rinci. Bentuk mata pendidikan yang dinilai memang menggunakan istilah
yang beragam untuk tiap sekolah. Namun secara garis besar ada mata
pendidikan, bagaimana sikap anak dalam memberi salam kepada orang lain,
bagaimana nilai anak ketika bekerja sama dengan orang lain, bagaimana sikap
anak ketika bergaul dengan orang lain, bagaimana sikap sang anak dalam
memelihara tumbuhan atau binatang, bagaimana sikap anak dalam
mengekspresikan pikirannya, dll. Tidak berlebihan jika dikatakan rapot
tersebut menunjukkan perhatian sekolah pada hakikat dasar mendidik anak.
Untuk kelas 1, 2, dan 3, nilai mereka pun bukan nilai kuantitaf yang
ditunjukkan dengan angka seperti delapan atau enam. Tetapi dengan komentar
pujian atau memberi semangat: “sudah berusaha dengan baik” atau “mari
berusaha sedikit lagi”, yang biasanya disimbolkan dengan lingkaran (untuk
yang pertama) atau segitiga (untuk yang terakhir). Tidak ada nilai negatif
untuk anak. Dan untuk SD kelas empat ke atas, nilai A, B, C memang
diterapkan. Namun, ini adalah nilai mutlak per anak, bukan nilai komparatif.
Setiap anak dihargai oleh usaha mereka masing-masing untuk meningkatkan
diri. Oleh karena itu di SD Jepang, tak ada sistem rangking yang
membandingkan satu anak dengan lainnya, ini berdasarkan filsafah pendidikan
dasar yang menekankan pada perkembangan khas setiap anak secara perorangan.
Satu kelas bisa saja semuanya memperoleh nilai A atau dobel lingkaran untuk
satu mata pendidikan. Akan tetapi nilai A ini sangat berbeda untuk tiap
anak. Misalnya, anak yang pemalu dan sulit berinteraksi dengan
kawan-kawannya, bisa saja memperoleh nilai A untuk mata pendidikan
berinteraksi dan bekerja sama sesama kawan sama dengan seorang anak yang
memang supel dan pandai bergaul. Dengan catatan, A bagi anak pertama,
mungkin berkaitan dengan peningkatan yang dicapainya dibandingkan dengan
catur wulan lalu, dan nilai A bagi yang kedua adalah memang sikap unggul
sang anak dalam bergaul. Demikian pula pelajaran-pelajaran lainnya.
Sistem kurikulum dan rapot yang seperti ini, walaupun adalah hasil akumulasi
pemikiran, penelitian serta evaluasi pihak-pihak terkait khususnya Depdikbud
Jepang, sampai sekarang masih terus dievaluasi. Khususnya permasalahan
tertinggal pada pelajaran seikatsuka ini di kelas tiga ke atas. Di mana
ketika murid kelas satu dan kelas dua menikmati pelajaran IPS dan IPA dalam
frame yang menyenangkan, akan tetapi ketika mereka menginjak kelas tiga ke
atas mereka harus belajar seperti muatan yang dulu dengan style yang serius.
Duduk dengan rapi dan menyimak buku. Sehingga sebagian guru merasa kesulitan
ketika mengajarkan mata pendidikan ini di kelas tiga, karena di kelas ini
lah peralihan dari belajar dalam bentuk menyenangkan ke belajar untuk
mengembangkan daya intelektual terjadi. Ditambah lagi, banyak pula beberapa
orang tua Jepang yang ambisius yang kawatir dengan pendidikan anak-anak
mereka di sekolah dasar sekarang. Apakah dengan bentuk pendidikan yang
seperti ini, anak-anak mereka mampu berkompetisi untuk memasuki perguruan
tinggi elit? Terlepas dari itu semua, kepedulian pemerintahan Jepang akan
pendidikan generasi masa depan mereka patut diacungi jempol. Mereka berani
merombak kemapanan dalam sistem pendidikan dasar yang tercermin dalam rapot,
dengan harapan tercipta generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual
tetapi juga kepribadian.