Kalau sebuah studi menemukan bahwa tempat belajar utama telah berubah, siapkah Anda berubah?
Dulu 80% pusat belajar adalah lembaga, sekolah, kampus, kursus. Sekarang 80 % pusat belajar itu justru ada di masyarakat, dimana kita menghabiskan waktu terbanyak.Saya tertegun saat didatangi remaja asal Papua yang jauh-jauh datang dari puncak pegunungan dan gagal berkompetisi untuk memasuki Perguruan Tinggi Negeri di Pulau Jawa. Seperti para remaja dari Pulau Buru yang menumpang hidup di rumah seorang kerabat di daerah Bogor, atau para remaja dari Pulau Simeleu di Aceh yang jauh dan terpencil dan masih terbengong-bengong melihat pijaran lampu yang menyala tiada henti di Jakarta.
Semua berharap bisa kuliah dan memperbaiki kehidupannya. Ternyata untuk bisa sekolah tinggi itu bukan cuma perlu kegigihan. Pintunya tak dibukakan seperti kita mengetuk pintu. Di sana ada kompetisi, dan mungkin juga ketidakadilan bagi mereka yang datang dari daerah pedalaman dengan semangat merah-putih. Sudah tidak bisa mencicipi subsidi BBM dan listrik, bertarung mendapatkan bangku sekolah milik pemerintah pun tidak bisa.
Universitas negeri tentu punya jawabannya, “kami sudah buka pintu lewat jalur undangan”. Kalau masih ada rasa ketidakadilan ini tentu menunjukan ada gap antara kampus dengan rakyat yang memimpikan pendidikan, dan ini harus terus dijembatani.
Tetapi baiklah kita kembali ke topik semula, yaitu bagaimana melatih para remaja yang gagal memasuki jalur pendidikan formal tetapi tetap bergengsi dan tidak mempermalukan atau menjatuhkan self esteem. Jauh-jauh datang dari pegunungan, dilepas sanak keluarga, mengapa kembali tanpa hasil?
Dengan kata lain harus ada kompensasi dari jerih payah. Dan pintu seperti ini baiknya harus dibuka lebar-lebar. Sayangnya dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang baru disahkan di parlemen, jembatan ini tidak ada. Logika yang berkembang hanya mencari payung hukum sebagai pengganti BLU. Jadi undang-undang baru ini belum visioner.
Dunia Informal
Dunia informal pada dasarnya sangat kaya dengan pengetahuan dan keterampilan. Tetapi dunia informal tidak memberi gengsi dan pengetahuan sebelum Anda berhasil. Beda benar bila Anda kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas negeri. Biarpun tidak lulus, atau jadi dokter biasa-biasa saja, sejak kuliah Anda sudah bisa pamer jaket, kirim foto dengan identitas kampus. Dunia informal sebaliknya.
Hari sabtu kemarin, saat mewawancarai calon-calon mahasiswa peserta program doktor di UI saya pun menggali potensi mereka. Sayang sekali saya harus katakan bahwa mereka masih berpikir ilmu pengetahuan hanya ada di kampus. Ketika saya tanyakan buku apa yang terakhir mereka baca, hampir semuanya sulit menyebutkannya. Padahal ijazah S1 dan S2 mereka bagus-bagus dengan indeks prestasi yang tinggi-tinggi. Tetapi mereka terakhir membaca buku saat kuliah di jalur formal.
Come on! Tahukan Anda bahwa ilmu yang kita pelajari di kampus cepat tertinggal? Ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat dan adu kejar antara dosen dan para penjelajah pengetahuan terus terjadi.
Sebagian besar ilmu itu ada di dunia maya, dan sebagian lagi ada di tangan orang-orang hebat. Saya pikir inilah saatnya bagi para social entrepreneur untuk membangun komunitas-komunitas pembelajaran yang bergengsi tinggi dan memberi impak besar. Brandnya harus kuat agar para remaja tidak patah semangat, namun ilmunya harus lebih kuat lagi.
Kalau di India saja Bunker Roy bisa membuat orang-orang buta huruf menjadi guru-guru yang hebat di bawah naungan Barefoot College (akademi tanpa alas kaki), mengapa kita tidak bisa? Di desa Pare-Kediri, anak muda bisa membuat Kampung Inggris yang menjadi alternatif EF atau LIA. Di Jember ada komunitas Jember Festival yang dikembangkan Dinar Fariz, seorang Ashoka Fellow, dan masih banyak lagi.
Kalau dulu orang merasa bangga bisa bergabung dengan Guruh Soekarno Putra di Swara Mahardika atau dengan Rendra di Bengkel Teater-nya, maka sekarang orang-orang hebat juga harus turun meminjamkan strong brand yang mereka punya untuk menggantikan gelar ijazah dari UI, ITB, ITS atau UGM kepada para remaja yang kehilangan pijakan. Latihlah anak-anak muda agar mereka bisa menjadi sama hebatnya dengan Anda.
Hanya saja, tingkat keberhasilan seseorang di dunia informal sangat ditentukan oleh karakter informalitas yang mengacu pada kekuatan individu. Di dunia informal tidak ada absensi, petugas kebersihan, ruang kelas dengan jam yang tertata, pengajar yang terstruktur dan seterusnya. Juga tidak ada ijazah. Jadi semua tergantung Anda.
Tergantung kemistri dengan tokoh, disiplin diri, daya juang, kejujuran, assertiveness, dan tentu saja impian Anda. Anda tinggal menentukan mau jadi pengekor seumur hidup, atau menjadi pelopor-pembaharu sebaliknya, di dunia formal Anda wajib belajar segala hal, baik yang relevan maupun kurang relevan buat hidup Anda. Dan tentu saja serba kognitif.
Anak-anak muda, datangi tokoh-tokoh idola Anda dan tagihlah komitmen mereka. Kalian bisa sekedar numpang tidur di sana, tetapi bayarlah dengan kesungguhan dan kerja keras. Jangan berpikir masa depan hanya ada di dunia formal. Saya sendiri sedang berevolusi dari kampus UI ke Rumah Perubahan. Saya yakin ribuan orang siap mengeksplorasi dunia informal untuk kemaslahatan bersama.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Jawapost