Oleh Mohammad Fauzil Adhim
Marilah sejenak kita menundukkan kepala, menangisi ruwetnya pendidikan yang tampak semakin jelas betapa ia tak punya arah. Marilah kita ingat sejenak, apakah yang terjadi pada anak-anak kita di saat kita baru saja tiba di rumah dari mengantarkan mereka ke sekolah. Adakah sekolah menjadi tempat terbaik untuk belajar beriman dengan sepenuh yakin dan kesungguhan menjalaninya? Adakah sekolah menjadi tempat menyemai benih-benih akhlak mulia, sikap yang baik dan perilaku yang santun? Adakah sekolah menjadi tempat anak-anak kita belajar mencintai Allah Ta’ala, kebenaran, budi pekerti dan ‘ilmu? Ataukah anak-anak itu...., jangankan akhlak, adab pun mereka tak kenal. Jangankan adab, ilmu pun mereka tak menguasai.Berjalan menyusuri negeri ini, bertemu dengan para pengajar yang sering menganggap dirinya guru, semakin tersadar betapa parah kerusakan pendidikan di negeri ini. Sulit sekali menemukan guru-guru yang memiliki komitmen kuat terhadap pendidikan. Tetapi bagaimana mereka akan gelisah di tengah malam, lalu bangkit mendo’akan muridnya, jika logika yang ditegakkan oleh pemangku kebijakan hanyalah soal kesejahteraan.
Berbincang dengan para pemangku kebijakan, amat sedikit.... ya, amat sangat sedikit pemangku kebijakan yang merisaukan pendidikan dan memikirkannya dengan sungguh-sungguh. Nyaris tak pernah saya mendengar pemangku kebijakan berbicara tentang idealisme pendidikan. Yang lebih sering terdengar dari lisan mereka adalah kesejahteraan, kuliner atau gadget. | Maafkan saya, inilah yang saya jumpai ketika saya bertandang ke sana kemari untuk memberi seminar, workshop atau berdiskusi di sela-sela kegiatan lain.
Tengoklah hal yang paling sederhana. Betapa banyak yang kesulitan membedakan antara competence (kompetensi) dan ability (kemampuan). Jika yang sangat sederhana ini saja tak mampu membedakan, maka bagaimana mungkin akan mampu melakukan asesmen lalu merumuskan langkah secara serius dan terencana untuk membangun kompetensi pada diri peserta didik. Lebih sulit lagi membedakan antara peserta didik dengan murid, yakni orang/anak yang telah tumbuh dalam dirinya kehendak yang sangat kuat (iradah) terhadap ilmu, kebaikan dan kebenaran.
Belum lama berselang, kita mendengar unit kerohanian Islam (rohis) di sekolah disudutkan oleh sejumlah pihak dengan tuduhan tak sedap: rohis melahirkan teroris. Tetapi qadarullah, fitnah terhadap anak-anak yang bersemangat untuk beriman segera berbalik. Kita terbelalak oleh kasus pembunuhan yang amat mengerikan. Di Purbalingga, siswa SMP membunuh temannya. Di Jakarta, pelajar SMA menghabisi nyawa rekannya. Sesudah itu, orang-orang dengan panik berkata, tambah pelajaran agama. Padahal ini tak menyelesaikan masalah jika pendidikan agama hanyalah berisi pengetahuan tentang agama. Penambahan jam untuk pelajaran agama hanya akan bermanfaat hanya jika ia menitikberatkan pada proses pendidikan agar anak-anak itu BERagama dengan baik; mengimani dengan sebenar-benar iman, menumbuhkan kecintaan kepada Allah Ta’ala dan rasul-Nya serta apa-apa yang dituntunkan, beribadah hanya untuk Allah Ta’ala sesuai perintah-Nya, dan sesudah itu berakhlak sesuai tuntunan.
Tak bermanfaat penambahan jam pelajaran agama, kecuali jika kita secara serius menanamkan perasaan senantiasa diawasi (muraqabah) oleh Allah ‘Azza wa Jalla; harap dan takut yang amat kuat kepada-Nya serta dorongan untuk bersungguh-sungguh mengerjakan hal-hal bermanfaat yang Allah Ta’ala ridhai. Muraqabah ini merupakan penguat untuk menumbuhkan dorongan kepada anak agar senantiasa berlari mendekat kepada Allah subhanahu wa ta’ala (taqarrub). Ini akan lebih mengena lagi pada saat siswa memasuki masa menjelang dewasa (SLTP-SLTA). Di rentang usia ini, ada 3 hal yang paling menonjol: kecenderungan menyukai lawan jenis, dorongan untuk mandiri dan menunjukkan eksistensi diri, serta bangkitnya idealisme yang salah satu wujudnya mereka banyak mempertanyakan hal-hal mendasar.
Remaja sama sekali tak perlu mengalami krisis identitas jika pendidikan di usia sebelumnya beres.
Pertanyaannya, siapakah akan menjadi guru pendidikan agama bagi anak-anak kita? Teringat saya ketika suatu hari mengisi workhop untuk para guru PAI di sebuah daerah di Riau. Kesediaan mereka belajar sangat rendah ketika itu. Adab bermajelisnya sangat buruk. Mereka sibuk merokok di saat presentasi berlangsung. Tak ada yang lebih menarik perhatian mereka melebihi uang saku dari panitia, kecuali setelah saya ajak mereka untuk menghitung usia dan membayangkan takdir atas anak-anak mereka.
Dan ini bukan peristiwa satu-satunya. Pertanyaannya, jika pengajarnya separah itu, apa yang dapat kita harapkan untuk kebaikan anak-anak kita? Langkah kita menyekolahkan anak termasuk kebaikan ataukah justru kecerobohan?
*****
Terdiam. Merenungi sejenak tentang pendidikan di negeri kita yang semata wayang, terasa betul betapa banyak hal penting dan mendasar yang hilang. Sulit membayangkan.... Amat sangat sulit membayangkan bahwa negeri ini memiliki visi yang sangat kuat dan jelas, jauh ke depan? Adakah pendidikan di negeri ini mempersiapkan kebijakan, kurikulum dan guru untuk melahirkan lulusan yang jelas gambarannya untuk mengelola negeri ini 50 tahun yang akan datang? Sudahkah guru-guru kita terobsesi dengan output profile yang kita rumuskan, lalu kita rindukan dengan sungguh-sungguh seraya berdo’a di penghujung malam? Ataukah kegembiraan para guru sendiri justru hanya sebatas pada peningkatan pendapatan dan tunjangan?
Betapa sedih mendengar bagaimana kita selalu mempersalahkan pihak luar atas terjadinya penikaman oleh pelajar kita? Ada dua pertanyaan penting di sini. Pertama, apa yang salah sehingga pihak luar yang tidak lain adalah warga bangsa Indonesia mengompori (jika benar demikian) pelajar itu untuk melakukan kejahatan? Sudah seburuk itukah negeri ini? Sedemikian sulitkah kita mempercayai sesama kita, sebagaimana sulitnya mempercayai jam terbang berbagai maskapai? Kedua, sedemikian rapuhkah pendidikan di negeri ini sehingga anak-anak itu mudah terpengaruh, mudah terprovokasi oleh “pihak luar”? Apakah anak-anak itu tak pernah memperoleh ta’dib (proses pendidikan untuk membentuk adab) tatkala mereka berada di jenjang TK, SD, SLTP dan SLTA? Apakah guru dan sekolah tidak membangun orientasi hidup dan orientasi belajar yang kuat dan jelas semenjak mereka berada di jenjang pendidikan dasar? Padahal, seharusnya sekolah telah dan terus membentuk-membangun orientasi belajar maupun orientasi hidup ini? Dan ini bukan menjadi materi pelajaran khusus.
Anak usia 10 tahun bahkan sudah dapat kita ajak untuk memikirkan akan berbuat apa mereka kelak di usia 40 tahun. Jika mereka telah memiliki arah yang jelas, dan lebih mendasar lagi missi hidup yang jelas, rasanya sulit membayangkan anak-anak itu akan banyak membuang-buang waktu untuk hal yang tercela.
Astaghfirullah...
Melihat kacaunya moralitas anak-anak, negeri ini segera mencanangkan pendidikan karakter. Tetapi, lagi-lagi ini sangat terasa sebagai kebijakan panik tanpa missi yang jelas, tanpa visi yang kuat. Maka, kita melihat rumusan dan implementasi pendidikan karakter yang amat sangat mengenaskan bahkan hingga level perguruan tinggi.
Bayangkan, ada perguruan tinggi yang menerapkan, jika mahasiswa tingkat kehadirannya 100% dan ia berpakain “sopan”, nilai “karakternya” A. | Ya Allah...., miris rasanya. Ini bukan karakter. Sama sekali ini bukan karakter. Tapi bagaimana bisa demikian? Tidak jawaban lain kecuali bahwa kita telah demikian malas belajar. Nah, jika pendidiknya saja malas belajar, lalu bagaimana anak didiknya?
Kita perhatikan betapa banyak yang amat sangat rancu merumuskan pendidikan, bahkan di tingkat pengambil kebijakan. Nyaris tak percaya, tapi itu yang terjadi. Bagaimana mungkin gemar membaca dianggap karakter? Ini kebiasaan (habit). Bukan karakter. Jika ta’rif (rumusan) sudah salah, pasti implementasinya juga salah. Semakin ke bawah, semakin parah. Bayangkan, pengambil kebijakan saja amat sangat banyak yang tidak dapat membedakan antara temperamen, karakter, perilaku, kebiasaan, budaya dan ciri khas (karakteristik).
Apakah pendidikan kita telah sedemikian mengerikan?
Ketika orang sedang mengalami kebingungan, maka kita juga dapati para trainer memanfaatkan kebodohan ini dengan membawa kebodohan yang lebih besar. Mereka menawarkan tes sidik jari dan sejenisnya yang sungguh amat sangat tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ini pseudoscience! Sidik jari hanya dapat mengungkap siapa yang mencuri jambu di belakang rumah kita. Bukan mengapa ia mencuri jambu.
Tes sidik jari hanyalah contoh dari sekian banyak produk training yang merusak. Nanti kita juga akan melihat training asal-asalan tentang karakter. Ada yang menyajikan 20 Karakter Dasar, tetapi yang dimaksud bukan karakter. | Diam-diam bertanya, apakah para trainer karakter itu tak membaca literatur tentang karakter?
*****
Ketika pelajar sudah melakukan kejahatan berupa pembunuhan, maka buru-buru diwacanakan penambahan jam pelajaran. Seakan jika waktu anak banyak di sekolah, mereka tak lagi punya keinginan untuk melakukan keburukan. | Sekali lagi, sangat terasa, ini wacana yang muncul begitu saja tanpa kajian mendalam. Jika diterapkan, sungguh ini akan menjadi deretan panjang kebijakan panik.
Sekolah sepenuh hari (full day) sebenarnya bukan hal baru. Berbagai sekolah Islam telah melakukannya. Tapi tanpa konsep yang jelas, guru-guru yang berdedikasi tinggi serta memiliki komitmen kuat, sekolah sepenuh hari justru hanya akan menjadikan anak-anak itu mengalami kepenatan secara mental. Jika ini terjadi, akibatnya akan jauh lebih buruk dari yang sekarang ini terjadi....
Ditambah atau dikurangi jam pelajarannya, sama sekali tidak masalah jika........kebijakan ini memiliki landasan yang kuat, tujuan yang jelas dan tidak kalah pentingnya penerapan yang tepat. Tanpa itu, kita akan menambah dan menumpuk masalah lebih ruwet lagi.
Sesudah itu, ada yang mewacanakan untuk meniadakan mata pelajaran IPA dan IPS. Diganti mata pelajaran sikap, kedisiplinan dan kejujuran. Pertanyaannya, apakah ini akan bermanfaat?
Anak-anak kita memang mempelajari terlalu banyak mata pelajaran. Merujuk buku Those Who Can, Teach (Mereka Yang Bisa, Mengajarlah), sekolah dengan jumlah mata pelajaran yang sangat banyak merupakan ciri pokok sekolah birokratis, yakni sekolah yang tujuan utamanya melahirkan manusia patuh birokrasi, tak mampu berpikir kritis dan miskin kreativitas. Ini biasanya berkembang di negeri-negeri terbelakang maupun negara berkembang untuk melanggengkan kekuasaan. Saya berharap, banyak pelajaran di sekolah dasar di negeri kita bukan karena alasan ini. Saya berharap bertumpuknya mata pelajaran tak berguna itu semata karena awam soal pendidikan saja.
Kembali ke soal penghapusan mata pelajaran IPA dan IPS, lalu menggantinya dengan pelajaran sikap, kedisiplinan dan kejujuran. Pertanyaannya, apa manfaatnya pelajaran itu jika disajikan sebagai materi pengetahuan kognitif? Bukankah seharusnya setiap guru seharusnya memiliki kemampuan untuk membangun 3 hal tersebut? Itu pun sebenarnya tidak cukup.
Sebagian di antara Anda mungkin ada yang pernah mengikuti diskusi pendidikan bersama saya. Salah satu hal yang sering saya sampaikan adalah: mencontek bukan pelanggaran. Mencontek itu kejahatan.
*****
Betapa ruwet pendidikan di negeri ini. Kita patut menangis dan bersedih karenanya.
Sering ketika saya datang ke berbagai daerah, guru mengeluh menghadapi muridnya yang bertingkah. Tapi langkah yang dilakukannya adalah menyerahkan kepada guru BK (Bimbingan & Konseling) alias BP (Bimbingan dan Penyuluhan). Padahal, tak sedikit tingkah tak sedap dari siswa di kelas merupakan problem yang seharusnya diselesaikan langsung oleh guru. Masalahnya, mereka tak memiliki kemampuan untuk menjadi guru yang disegani. Mereka menyerahkan ke BK yang sebenarnya bertugas membimbing siswa menemui keunggulan diri atau memberi konseling untuk problem psikis yang bersifat personal.
Banyak guru tak lagi memberi sanksi karena konon dilarang. Konon itu tak sesuai dengan pendidikan modern. Tapi ketika saya tunjukkan berbagai literatur tentang pengelolaan kelas terbitan terbaru, mereka terhenyak dan bingung. Banyak guru yang pusing karena mereka dilarang untuk melarang karena tidak sesuai dengan cara kerja otak. Padahal Al-Qur’an telah menunjukkan nasehat terbaik orangtua yang justru berisi larangan.
Meniadakan sanksi, sebagaimana juga memberi sanksi, maupun hal-hal lain dalam pendidikan memerlukan ilmu. Bahkan, kita perlu ilmu untuk menyampaikan ilmu.
Banyak hal yang ingin saya perbincangkan. Mohon maaf jika tulisan ini tak tersusun secara rapi. Nasehati saya. Ingatkan saya. Semoga tulisan sederhana ini ada manfaatnya.
Salam saya,
Mohammad Fauzil Adhim
Mantan pembantu dan tukang nimbrung di sebuah SD di Yogyakarta, mantan pengurus komite di sebuah SD lainnya di Sleman, penulis Kolom Parenting Majalah Hidayatullah