Para Pendidik & Guru di Australia lebih khawatir jika anak2 didik mereka tdk jujur, tdk mau mengantri dgn baik, tdk memiliki rasa empati & hormat pd orang lain & etika moral lainnya ketimbang mereka tdk bisa membaca, menulis & berhitung.
"Guru2 di Australia lebih prihatin jika murid2 mereka memiliki prilaku moral yg kurang baik drpd memiliki prestasi nilai akademik yg kurang baik" Berdasarkan pengalaman dan pengamatan pribadi, saya lihat ada perbedaan mendasar di sistem pendidikan Indonesia dan Australia dalam menanamkan pendidikan karakter. Kejujuran, misalnya, bisa tercermin dari materi pelajaran Sejarah. Di sekolahnya sekarang, Ghanta belajar tentang sejarah orang-orang Aborigine. Materi disampaikan dalam bentuk artikel dari media, cuplikan kebijakan pemerintah, film, dan lagu. Tentang bagaimana kebijakan mengintegrasikan anak-anak mixed blood (Aborigin + white race) ke white culture mainstream sebelum tahun 1960an dilihat sbg upaya mencerabut anak-anak tersebut dari akar budayanya. Tentang perlakuan diskriminatif birokrasi terhadap orang-orang Aborigine. Tentang perubahan kebijakan pemerintah Aussie setelah tahun 1970an dengan memberikan prioritas terhadap Aborigin dalam hal akses pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial yang lain. Saya ikut menikmati hampir semua materi pelajaran Ghanta. Kesan saya: ada semangat kejujuran yang jelas dalam mengajarkan sejarah hitam bangsanya sendiri, tidak malu menunjukkan kesalahan bangsa, namun disertai upaya untuk memperbaiki kesalahan masa lalu.
Dengan materi dan cara penyampaian seperti itu, ketika siswa belajar sejarah bangsa lain (mis: American slavery), ada perspektif yang bisa ditangkap oleh siswa, bahwa tiap bangsa punya lembaran hitam yang perlu diakui dan disertai upaya memperbaiki.
Ghanta menikmati pelajaran History. Kata dia, seperti membaca cerita, dan tidak pakai hafalan nama dan tahun. Meski tes-tes yang diberikan selalu dalam bentuk essay, dia juga enjoy saja, karena jawaban dinilai berdasarkan pemahaman konsep dan critical & reflective thinking.
Bagaimana dengan pelajaran Sejarah di Indonesia? Dalam banyak hal, lembaran hitam bangsa kita jarang diajarkan dengan semangat kejujuran. Materi yang sekiranya tidak sesuai dengan sejarah versi penguasa akan ditarik dari peredaran. Tes yang diberikan jarang sekali menggugah siswa untuk kritis.
Dalam hal pendidikan pekerti, ada hal menarik yang saya lihat dari anak-anak sesama teman Indonesia yang duduk di Primary School. Setiap minggu selalu saja ada siswa yang mendapatkan penghargaan Pupil of the Week untuk kategori the most helpful, the most responsible, dsb. Tp saya belum pernah melihat pengumuman nilai atau ranking akademik. Dan rapotpun sebenarnya lebih dalam bentuk deskriptif, tentang kekuatan, progress, dan hal-hal yang perlu diperbaiki (tidak disebut sbg kelemahan). Efeknya, anak merasa memperoleh respect atas kemampuannya sendiri, dan tidak dibanding-bandingkan dengan temannya. Ada yang menarik dalam komentar tentang 'kekurangan' siswa. Misalnya, Ghanta dinilai cukup bagus dalam menuangkan pikirannya dalam bentuk tulisan. Tapi akan jauh lebih baik bila tidak terburu-buru dalam mengerjakan tugas. Saya tahu model Ghanta yang suka mepet bila mengerjakan PR. Intinya sebenarnya: jangan suka menunda tugas, krn hasilnya kurang maksimal. Tapi cara penyampaian yang positif membuat siswa tetap dihargai.
Saya jadi mengingat kembali saat mengambil rapot Ghanta di SMA nya di Surabaya dulu. Wali kelasnya menunjukkan nilai sikap 'Tanggung-jawab' yang cuma C, dengan wajah yang kurang ramah. Gara-garanya, ada beberapa tugas mapel yang belum dikumpulkan. Kalau tugasnya dikumpulkan, nilainya bisa diperbaiki jadi B. Pikir saya saat itu, begitu mudahnya memberikan label pada siswa. Karakter direduksi menjadi huruf A, B, C yang bisa diganti dalam waktu singkat. Agaknya terlupa bahwa label 'kurang bertanggung-jawab' masih akan melekat di benak anak meski nilai di rapot sudah diubah.
Sebagai guru, saya lihat banyak hal yang perlu dibenahi dalam praktek pendidikan di Indonesia. Diperlukan perubahan sistem pendidikan, namun yang lebih penting lagi, perlu perubahan revolusioner dalam proses belajar mengajar di kelas. Di sinilah interaksi guru dan siswa amat berperan dalam membentuk karakter siswa.
Salam,
Tiwik
Pratiwi Retnaningdyah <tiwik_pr@yahoo.com>
dari milist IGI