Empat Masalah Kurikulum

Pertama, kurikulum lebih berorientasi kepada content (isi), bukan construct (rancang bangun). Padahal, kalau kurikulum diarahkan kedalam construct, toh muata-muatan seperti seks bebas, narkoba, korupsi, pelanggaran HAM dll telah terliput ke dalam domain integritas (akhlaq). Sedangkan muatan-muatan tentang konservasi, demokrasi, leadership, hemat energi dsb. adalah turunan dari domain Khilafah.


Kedua : Seharusnya kurikulum lebih diarahkan untuk memberikan "pancing" kepada peserta didik, bukan "ikan". Toh dengan pancing yang tepat mereka bisa mendapatkan berbagai jenis ikan. Gontor sukses memberikan pancing kepada para santrinya. Pergaulan saya dengan santri Gontor menunjukkan bahwa "ikan" (ilmu) yang mereka bawa saat lulus sangat minim. Namun, "pancing" yang mereka miliki sangat banyak (motivasi, pola pikir, daya nalar, hasrat ingin tahu, kepercayaan diri dsb.)

Ketiga, ketiadaan desain arsitektur pembelajaran. Sebuah sekolah alam pernah memberikan kurikulumnya kepada saya. Setelah saya pelajari, ternyata itu hanya silabus. Saya tidak menemukan riwayat (curriculum = riwayat) di dalamnya. Tak ada sebuah desain arsitektur yang dapat menjelaskan konsep bangunan, sosok, filosofi, jatidiri dsb. Tak ada sebuah resep makanan yang dapat merubah gula, tepung, telur, margarine dsb. menjadi sebuah, misalnya, lapis legit.Keempat, tak terumuskannya DNA pendidikan sebelum merumuskan kurikulum. Akhirnya yang terjadi adalah : Pohon durian ingin menghasilkan nangka, karena DNA-nya adalah duren (namun tak terformulasi) tapi kurikulumnya ingin mencetak nangka. Yang terjadi adalah kegagalan pendidikan. Bagaimanapun, singa tak akan beranak buaya. Itulah yang menyebabkan kenapa pendidikan yang sukses belum tentu dapat dikloning ke tempat lain, karena "Pohon yang sama ditanam di tanah yang berbeda, maka rasa dan warnanya akan berbeda.

Semoga bermanfaat.