Ikan Kaleng (Cerpen Pendidikan)

Di bawah ini adalah satu contoh cerita pendek tentang pendidikan yang bagus, silakan dinikmati dan dipahami makna kritik pendidikan yang terkandung di dalamnya. Cerpen berjudul “Ikan Kaleng” ini ditulis oleh Eko Triono (Kompas, 15 Mei 2011). Terima kasih untuk Mas Rahmat Petuguran atas informasi dan sarannya.
/1/
SAM tiga hari di Jayapura; dia guru ikatan dinas dari Jawa. Dan, tak mengira, saat pembukaan penerimaan siswa baru buat SD Batu Tua 1 yang terletak sejurus aspal hitam dengan taksi (sebenarnya minibus), ada yang menggelikan sekaligus, mungkin, menyadarkannya diam-diam. Ia tersenyum mengingat ini.

Ketika seorang lelaki bertubuh besar, dengan tubuh legam dan rambut bergelung seperti ujung-ujung pakis lembut teratur menenteng dua anak lelakinya, sambil bertanya, “Ko pu ilmu buat ajar torang (kami) pu anak pandai melaut? Torang trada pu waktu. Ini anak lagi semua nakal. Sa pusing.”

Sam memahami penggal dua penggal. Dia, seperti yang diajarkan saat micro teaching, mulai mengulai senyum lalu berkata, “Bapak yang baik, kurikulum untuk pendidikan dasar itu keterampilan dasar, matematika, bahasa, olahraga, dan beberapa kerajinan….”

“Ah, omong ko sama dengan dong (dia) di bukit atas! Ayo pulang!”
Kaget. Sam tersentak, belum lagi dia selesai. Dan ini tak pernah diajarkan di pengajaran mikro. Juga dibuku di tum bab penerimaan siswa baru. Dia pucat; diraihnya segelas air putih.

Pendaftar pertama memantik rasa sabar dan sesuatu yang asing dalam dirinya. Ia bersabar menunggu detik berikutnya dari lepas pukul sembilan. Ia mengelap lagi wajahnya. Di meja pendaftaran samping, kosong, Tati belum datang. Cuma ada Markus, Waenuri, dan Tirto—teman sekelasnya yang sedang betugas masing-masing di ruang lain; mulai dari siap berkas, mencatat kebutuhan anggaran, dan menyiapkan papan tulis. Bismillah, ia mengharap, tepat ketika sebarisan orang-orang legam bertelanjang kaki menjejaki halaman setengah becek bertanah merah, dilatari sisa-sisa alat berat dan bekas pengadukan material bangunan itu.

Dan syukurlah, meski dengan penjelasan yang tak kalah berat; setidaknya, tak ada yang seperti orang pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari tahu, hasilnya, ternyata lelaki pertama tadi adalah kepala suku Lat, berada di sekitar pantai sebelah kanan, menembus seratusan rengkuh dayung untuk sampai di kampungnya yang ada di laut. Kira-kira begitu kata orang-orang yang juga ada berasal dari sana.

“Trada perlu risau, dong itu memang keras kepala,” kata si penjelas itu sambil berbisik bisik, takut ada yang melaporkan omongannya.

/2/

Hari tadi tercatat dua puluh satu siswa mendaftar jadi angkatan baru, sekaligus kelas baru buat sekolah itu. Usia mereka beragam. Hari berjalan, minggu silih berganti, dan bulan menumpang tindih. Tepat memasuki bulan Agustus, keganjilan itu muncul kembali. Meski sebelumnya pernah terjadi, tapi kali ini semakin sering.
Dua anak itu sering muncul di halaman. Mereka nampak memandangi sesuatu yang mungkin aneh baginya. Teman-teman lain menhadapi sebuah tiang dengan bendera dua warna. Berbaris lalu menyanyi-nyanyi. Dari sini, Sam merasa iba. Ia dekati. Dan tahu betul, mereka itu yang tempo hari dibawa oleh kepala suku Lat.

“Kenapa kalian, ingin seperti mereka?”
“He-eh….” yang satu mengangguk. Ia menatap teman-temannya yang menyanyi-nyayi bersama itu, dari sana terbalas, dua tiga melambai ke mereka yang ada di dekat jalan depan sekolah itu.
“Apa ko ini Do! Trada boleh!! Bapa ade bisa marah.”

Mereka kemudian menjauh, menurun di bukit-bukit kecil bercadas, berkelok, samar dan hilang bersama suara angin dan pemandangan hijau hutan juga beberapa rumah penduduk dan sekali dua waktu minibus berlalu dengan muatan penuh.
Sam memutuskan sore nanti ia akan mengunjungi rumah anak-anak itu dan memberikan semacam penjelasan.

Dengan dibantu salah seorang wali murid, sampailah dia di rumah lelaki itu. Sam kemudian menyampaikan maksud dan sejumlah penjelasan, terutama perihal anak-anak mereka yang sering datang ke sekolah.

“Ko trada perlu ajari torang. Torang dah pu sekolah sendiri. Lihat mari! Justru murid ko yang mari.”

Sam, dengan setengah tak percaya mengikuti lelaki itu. Ia turun dari rumah besar, lalu menuju perahu di antara barisan rumah-rumah, aroma laut menebar, hidungnya disesaki asin dan matanya dipenuhi tatapan aneh dari penduduk sekitar. Dia menuju sebuah rumah yang sama di atas laut, dan di sana nampak sudah dua anak lelaki yang menyambanginya siang tadi. Dan, beberapa muridnya yang ia kira sakit, ternyata mereka ada di sana.

Di tempat ini, terlihat: barisan dayung-dayung yang digantung, tombak bermata tajam, sebuah perahu di tengah ruangan, jala, pisau, sebuah titik-titik dengan cangkang karang, yang kemudian Sam tau itu rasi bintang di langit. Lelaki Lat menjelaskan lagi dengan bahasa alihkode semi kacau, bahwa di sinilah sekolah yang ia dirikan. Sekolah yang diberinama Lat: sesuai nama suku.

Sebenarnya lelaki tadi tidaklah bodoh terlalu. Ayahnya dulu pernah menyekolahkanya ke “sekolah pemerintah” meski hanya di kelas satu—demikian mereka menyebutnya, namun suatu hal mengganjal.

Ketika kakaknya yang sudah kelas enam di SD Jayapura 2 tak bisa apa-apa ketika harus menemani kakak mereka yang lebih tua pergi melaut menggantikan ayahnya yang sakit keras. Dia, kakaknya yang SD tersebut, hanya bisa omong dan menyanyi-nyayi, lalu pamer angka-angka tak jelas dalam kertas, tapi ia tak becus membaca rasi bintang, arah angin, membelah ombak, mengarah tombak, apalagi mencecap asin air dan jernih gelombang untuk menerka di mana ikan-ikan berkumpul. Dari situ ia benci sekolah—ia benci menghabiskan waktu dengan menyayi dan menggambar tidak jelas.

Dan, pelak, ketika ada pembukaan sekolah baru, ia selalu mencari sekolah yang mengajarkan anaknya melaut, membelah ombak, mendayung, membaca rasi bintang, menombak ikan paus, dan seterusnya. Dan itu tak ada, atau mungkin tak akan pernah ada!

Sam terdiam. Ia paku bagi kelana: semua diktum terkulum gelombang di kaki pancang: berpias-pias.

Dan juga sorenya, Sam melihat di bawah cahaya senja yang senantiasa keemasan sebelum muram jadi gelap, lelaki itu mengajar dua anaknya dan tiga dari muridnya yang belakangan absen. Dia mengajari cara memegang dayung, menggerakkannya kanan kiri di atas perahu di tengah kelas itu. Dan, tak sekalipun lelaki itu membentak atau bahkan memukul bila salah. Dia selalu berkata,

“Ko pasti bisa! Ko dilahir atas laut, makan ikan laut, garam laut, ko anak laut! Laut ibu torang. Kitorang cintai, dayungi, dan ciumi angin asin ini. Laut tempat ko makan, laut tempat ko besar nanti, ko paham sa pu nasehat? Ini tujuan ko sekolah di Lat, ko belajar hidup. Bukan cuma omong kosong dan menggambar. Ko dititipi laut Bapa Kitorang.”

/3/

Peristiwa dua tahun silam terngiang makin dalam, di meja kelas, ketika kini dia mengadapi pesan pendek berisi keluh dari sejumlah kawan di Jogja yang belum juga mendapat kerja. Dia menarik nafas. Untung dia dapat ikatan dinas; meski jauh seperti ini, terpisah dari keluarga.

Dia sedang mengabsen, saat tiba-tiba lelaki kepala suku Lat itu datang mengetuk pintu kelas. Dia izin bentar pada murid- muridnya yang kini tinggal setengah—sisanya “sekolah” di Lat: memilih belajar membelah ombak dengan benar, membaca rasi bintang dengan sket cangkang kerang, dan seterusnya.

“Maaf, ada yang bisa saya bantu, Pak?” Sam bertanya, dalam hati ia mengira lelaki itu, yang kini membawa kedua anaknya beserta sejumlah anak lain, ingin menyekolahkan di tahun ajaran baru yang sebentar lagi tiba.
“Ko orang Jawa, bisa ajar torang buat ini?”

Sam mundur sedikit. Ia kaget. Lelaki itu menunjukkan kalengan bermerek sarden.
Usut punya usut, setelah bercakap kemudian, sekolah Lat tengah mengalami masalah. Murid-muridnya bertambah banyak, orang-orang Batu Tua lebih memilih menyekolahkan anaknya di sana, yang dalam waktu tak lebih dari setahun dapat membantu menangkap ikan. Yang mengajar juga dari orang mereka sendiri yang berpengalaman. Nah dari sana penghasilan menangkap ikan naik deras. Ketika kepala suku Lat itu pergi ke Jayapura untuk memasar ikan, ia melihat ikan kaleng yang ternyata harga sebuahnya setara dengan harga satu kilogram ikan mentah. Dia terkejut. Padahal, menurut kepala suku Lat itu, satu kaleng hanya berisi dua tiga potong. Dari sini dia ingin menemui sekolah yang bisa mengajarkan “murid”-nya membuat ikan kaleng.

Dan, sekali lagi Sam menggeleng. Ia menejelaskan kembali tentang standar pengajaran di sekolah, kurikulum, evaluasi, ijazah, dan keterampilan, menghitung, bahasa, menghafal nama menteri, Pancasila, Undang-Undang Dasar….
“Ah, baik. Ko tau tempat buat ini?” kepala suku Lat menegas. Matanya resah. Anak-anak di belakangnya tengah membaur bersama anak-anak dalam kelas. Sam membaca pabrik produksinya yang ternyata itu di Banyuwangi Jawa Timur.
“Sa mau ke sana! Ko kasih tau….”

Sam terbengong. Dan ia akan makin kaget, jika tahu bahwa lima hari mendatang akan ada rombongan kecil dengan perahu berlayar sedang, berbekal peta yang ia berikan sewaktu bertanya, beduyun mengarungi Samudra Hindia, menuju Jawa Timur buat belajar cara mengalengkan ikan agar tidak rugi dalam menangkap demikian banyak ikan, agar anak-anak kelak sejahtera, agar listrik penuh, televisi seperti di kota, mobil, motor…. Tidak ada yang ragu; mereka anak-anak sekolah Lat; terlatih membelah ombak dengan dayung, membaca angin, gemintang, dan asin air laut dan jejak-jejak ikan di antara buih dan gelombang. Jiah! Khiaak! (*)

This article is also available http://emelci.or.id/groups/PendidikanKearifanLokal/PendidikanNelayanPerikanan/docs/ikan-kaleng-cerpen-pendidikan