MENGASAH BAKAT ANAK BERARTI MEMBANGUN KARAKTER

Oleh : M Musrofi 

Mengasah bakat dapat dilakukan dengan mendukung anak / siswa untuk menciptakan sesuatu atau berkarya. Sesederhana apa pun karya atau ciptaan itu. Jadi ide karya atau ide ciptaan bersumber dari bakat anak. Ketika anak tengah mengaktualisasi bakatnya dengan cara membuat suatu karya –sekali lagi sesederhana apa pun karya itu-, maka ketika itu pula anak sesungguhnya tengah belajar life skill dan membangun karakter.

Anak itu tengah belajar kreatif, belajar tekun, belajar ulet, belajar mandiri, belajar bervisi (membayangkan bentuk akhir karya yang dibuat), belajar mengungkap ide-ide unik-asli (original), belajar menghargai proses penciptaan karya, belajar terbuka terhadap kritik-saran (misal : bisa menerima kritik ketika karyanya diminta diperbaiki), dan sebagainya.

Bukankah kreativitas, tekun (konsistensi), ulet (tidak mudah menyerah), mandiri, bervisi, terbuka terhadap kritik, menghargai originalitas dan proses penciptaan merupakan karakteristik manusia unggul, karakteristik wirausahawan, karakteristik yang dituntut dalam dunia kerja?

Aktivitas penciptaan –sesederhana apa pun ciptaan itu- adalah aktivitas yang menuntut pola pikir fokus, yang dibarengi dengan ketekunan atau istiqomah (kemampuan melakukan sesuatu yang repetitive dalam tempo yang relatif lama), keuletan (kemampuan menyikapi kegagalan dengan persepsi yang tepat), kejujuran (kemampuan mengatakan sesuatu sesuai fakta), integritas (kemampuan mengatakan sesuatu sesuai dengan kata hati dan pikiran), kreativitas (kemampuan mengungkap ide-ide baru atau kombinasi dari hal-hal yang sudah ada), inovasi (kemampuan melakukan konversi ide menjadi sesuatu yang kongkrit yang bisa berupa bisa konsep, benda, prototype, dan sebagainya), keberanian (kemampuan untuk mengubah kebiasaan, kemampuan untuk berbeda dalam pola pikir dan sikap, kemampuan bertindak setelah mengetahui berbagai risiko yang mungkin terjadi), kemampuan mengelola waktu dengan efektif dan efisien, dan sebagainya.

Ada banyak bukti bahwa salah satu cara agar seluruh tuntutan untuk melakukan aktivitas penciptaan tersebut dapat muncul dengan sendirinya adalah apabila sumber ide dari sebuah ciptaan berasal dari potensi diri (baca: kelebihan diri, bakat, talenta alami). Karena itu yang dijadikan sumber ide berbagai ciptaan didalam model pelatihan yang diusulkan ini adalah potensi diri.

Motivasi untuk selalu ingin tahu, untuk menemukan atau menciptakan sesuatu yang baru perlu ditanamkan kepada anak didik sejak duduk di bangku SD. Misalnya saja salah satu syarat kelulusan dari SD sampai perguruan tinggi adalah siswa atau mahasiswa haruslah mampu menemukan atau menciptakan sesuatu yang baru, sesederhana dan sekecil apapun sesuatu itu asal original.

Penemuan atau penciptaan sesuatu yang baru, tentu saja tidak perlu “benar-benar baru”, tetapi kombinasi dari berbagai hal bisa saja menjadi sesuatu yang baru. Ini semua memaksa peserta didik untuk kreatif dan inovatif. Karena itu, untuk mendukung aktivitas penemuan atau penciptaan tersebut, kiranya para siswa atau mahasiswa perlu diberikan mata pelajaran atau mata kuliah dan praktek-praktek kreativitas dan inovasi.

Terman seperti dikutip Eng-Hock Chia (2000) dalam “Anda Juga Bisa Menjadi Kreatif” melakukan studi berkelanjutan terhadap 1.500 remaja di California dengan IQ di atas 140 (jenius secara teknis), mendapati bahwa tidak ada satupun dari mereka yang kemudian menjadi terkenal melalui kontribusi yang layak dikenang. Dacey yang juga dikutip Eng-Hock Chia memperingatkan bahwa para siswa di sekolah jangan sampai kekurangan atau kehilangan petualangan imajinasi (kreativitas dan inovasi) demi keberhasilan kehidupan mereka.

Maka aktualisasi bakat melalui penciptaan karya-karya adalah proses pembangunan karakter dan life skill.



Sumber : Millenial Learning Centre