Jejaring Sosial

Jejaring Sosial dan The Small World Phenomenon 
 
Jejaring sosial (social networking) adalah barang indah yang rumit. Begitu pelik dan berlikuliku, hadir di mana-mana, sehingga tak heran jika orang penasaran bertanya, untuk apa jejaring sosial ada? Mengapa kita terlibat dalam jejaring sosial? Bagaimana jejaring sosial memengaruhi kita? 
 
Empat dekade yang lalu, Stanley Milgram telah melakukan eksperimen tentang fenomena keterhubungan ini. Dia menyimpulkan bahwa seseorang itu hanyalah berjarak maksimal 6 simpul hubungan dengan orang lain. Anybody is only six steps away from anybody else. Teori inilah yang kemudian dikenal dengan “Six degrees of separation” (Muhammad, 2010). Enam derajat keterpisahan. Fenomena ini ingin menunjukkan bahwa kita dengan orang lain yang kita sangka tidak kenal itu ternyata “dekat”. Dunia ini sempit. Lihat ilustrasi3 ini: 

 
Six degrees of separation ini kemudian dikenal dengan “the small world phenomenon” yang terus dikaji ilmuwan hingga kini. Secara tidak langsung, fenomena inilah yang –dibantu komputer, net, dan web--mendasari lahirnya jejaring sosial pada dekade terakhir ini. Orang makin menyadari bahwa mereka ternyata bisa saling berhubungan, sama dengan komputer mereka. Hubungan-hubungan itu menjadi jelas bersifat sosial dari pada sekedar computer to computer atau IP (Internet Protocol) to IP. 
 
Wikipedia mendefinisikan jejaring sosial sebagai sebuah struktur sosial yang dibentuk dari individu-individu (atau organisasi) yang saling terhubung oleh satu atau lebih jenis interdepensi yang spesifik, seperti: pertemanan, kekeluargaan, kesamaan minat, pertukaran finansial, kesamaan faktor suka-tidak suka, hubungan lain jenis (sexual), kepercayaan / keyakinan, pengetahuan, pestige, dan jenis interdepensi lainnya. Jejaring sosial terdiri dari node-node (nodes) dan simpul / tali (ties). Nodes dibentuk dari para aktor yang terlibat dalam jejaring, sedangkan ties merupakan hubungan relasi antara aktor satu dengan aktor lainnya. Perjumpaan satu aktor dengan satu aktor lain dengan satu simpul interdependency membuat keduanya “terhubung” (connected). Ketiadaan salah satu dari keduanya tidak akan membentuk sebuah jejaring sosial per definisi di atas. 
 
Mungkin dimulai dari kita mengenal teman-teman sekelas kita (your friends). Lantas teman sekelas kita memiliki sahabat, saudara kandung, tetangga, teman sepermainan, teman kerja, teman nemu di jalan, dan sebagainya (your friends’ friends). Masing-masing lantas punya suami, istri, anak, menantu, paman, bibi, kakek, nenek, ... (your friends’ friends’ friends) ... demikian seterusnya. Lihat ilustrasi4 di atas. 
 
Kekuatan Jejaring Sosial 
 
Menariknya jejaring sosial adalah bahwa rantai-rantai yang awalnya sederhana itu lalu bercabang-cabang seperti berkas kilat, membentuk pola-pola njelimet di sekujur masyarakat manusia, mengelompok membentuk jaring-jaring hubungan besar yang menjangkau sampai jauh. Makin jauh kita melangkah dari seorang individu dalam satu jejaring sosial, jumlah ikatan dengan manusia lain serta kerumitan percabangan jejaring akan semakin meningkat pesat (Christakis & Flower, 2010). 
 
Maka bayangkanlah jika jumlah anggota terhubung dalam satu jejaring sosial itu mencapai 1.000, 3.000, 10.000 orang. Bagaimana rumitnya berhubungan dengan mereka semua! Sekarang bayangkan jika kita masuk ke dalam jejaring sosial dengan anggota tak kurang dari 400 juta orang! Demikianlah Mark Zuckerberg mengumumkan pencapaian jumlah user Facebook pada ultah ke-6 Februari 2010 lalu. 400 juta orang! Padahal 2 bulan sebelumnya Zuckerberg mengumumkan jumlah Facebooker “baru” mencapai 350 juta dan pada September 2009 ia menyebut angka 300 juta (lihat: blog.facebook.com). Berarti hanya dalam 2 bulan terakhir jumlah Facebooker telah meningkat 50 juta user baru atau 833.333 user per hari. Benar-benar pertumbuhan yang “meteorik” (lihat ilustrasi5 di atas). 
 
Bagaimana jika tiba-tiba saja Zuckerberg sedang pusing lalu mengutip fee Rp 1.000,-saja untuk setiap anggota facebook. Berapa duit yang bakal ia terima? Sedangkan dari iklan saja Facebook telah meraih pundi dollar USD 500 juta per tahun. Tahun 2010 ini malah diprediksi USD 605 juta untuk mengalahkan MySpace. 
 
Di sisi lain, database anggota facebook adalah aset berharga dan layak jual. Tak heran jika Facebook berencana menjual database itu ke sejumlah perusahaan. Data itu bisa digunakan untuk banyak hal, diantaranya riset pasar, menggelar polling –seperti dilakukan di USA, Israel, dan Palestina, kampanye (Barack Obama harus berterima kasih pada Facebook), dan sebagainya. Belum lagi fasilitas-fasilitas yang disediakan Facebook, seperti pembuatan group. Maka di tanah air, kasus-kasus dukungan seperti terhadap Bibit-Candra, Koin untuk Prita, KPK, Susno Duadji, dan s sebagainya melalui jejaring sosial seperti Fac cebook patut diperhitungkan. KPK, Susno Duadji, dan sebagainya melalui jejaring sosial seperti Facebook patut diperhitungkan. 
 
Apalagi kini jejaring sosial sepeerti Facebook sudah mempergunakan lebih dari 100 bahasa di dunia. Jutaan orang terhubungg dengan mudah karena bisa menggunakan bahasa mereka sendiri, bukankah ini sebuah k kekuatan? Christakis & Flower bahkan sampa ai pada satu kesimpulan bahwa hubungan antarmanusia, seperti melalui jejaring sosial ini, bukan hanya bagian alami yang perlu dalamm kehidupan kita, tapi juga kekuatan untuk beerbuat kebaikan. Sebagaimana otak kita bisa mmeelakukan hal-hal yang tak bisa dilakukan oleh h satu sel saraf saja, begitu pula jejaring sosia al bisa melakukan hal-hal yang tak bisa dilakukan oleh satu orang saja. 
 
“hubungan antarmanusia, seperti melalui jejaring sosial ini, bukan hanya bagian alami yang perlu dalam kehidupan kita, tapi juga kekuatan untuk berbuat kebaikan.”
 
Sungguh Rasulullah shollallohuu ‘alaihi wasallam telah mengemukakan kekuuatan ‘jejaring sosial’ ini 1400 tahun yang lalu dalam sabdanya: 
 
“Orang-orang Muslim itu ibarat satu tubuh; apabila matanya merasa sakit, seluruh tubuh ikut merasa sakit; jika kepalanya merasa sakit, seluruh tubuh ikut pula merasakan sakit.” (HR. Muslim) 
 
“Orang Mukmin yang satu dengan yang lainnya ibarat satu bangunan yang masing-masing bagian saling menguatkan.” (HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi) 
 
Ibarat satu tubuh, ibarat satu bangunan. Satu pengibaratan yang begitu indah dan dalam, menyiratkan adanya saling keberinteraksian, saling merasakan apa yang dirasakan Muslim atau Mukmin lainnya, dan potensi kekuatan penopang satu dengan lainnyaa. Apa yang dimaksud Nabi ini kiranya jauh lebih dahsyat dari sekedar jejaring “sosial”.. 
 
Kita pun memberinya istilah yyang lebih terasa dekat: “ukhuwah”. Ikatan persaudaraan. Konon di dalam Al-Qur’an dari keseluruhan kata dasar “al-akh” yang artinya saudara, semuanya menunjukkan hubungan darah (keluarga). Namun ada satu kata dari kata dasar “al-akh” yang tidak berarti saudara sedarah, yakni pada Q.S. Al-Hujuraat [4 49]: 10, 
 
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” 
 
“Ikhwah” di dalam ayat ini menjadikan antar-Mukmin itu bersaudara. Sifat persaudaraannya bahkan seperti saudara sedarah sebagaimana digunakannya kata “al-akh” dan derivasinya pada ayat-ayat lain (Shihab, 1996). 
 
Jika jejaring sosial memiliki kekuatan sedemikian dahsyat, apalagi jejaring sosial dalam konteks persaudaraan antar-Mukmin dan Muslim, bisakah kita manfaatkan untuk mengembalikan peradaban Islam yang tengah terpuruk saat ini? 
 
Kebudayaan dan Peradaban 
 
Secara etimologis, kata “peradaban” adalah terjemahan dari kata bahasa Arab “alhadharah”. Sayangnya, kata ini sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “kebudayaan”. Padahal, kebudayaan di dalam bahasa Arab disebut tersendiri sebagai “atstsaqafah” atau “at-tamaddun”. Tidak heran jika di Indonesia, juga di Barat, kedua kata itu disinonimkan. Kebudayaan = peradaban = culture = civilization (rangkuman pendapat oleh Fadil, 2008). 
 
Dalam perkembangan ilmu Antropologi, kedua kata itu dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Kebudayaan berasal dari “budhayah”, jamak dari “budhi” yang berarti “budi” atau “akal”. Jadi kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Kebudayaan juga ada yang berpendapat berasal dari kata “budi” dan “daya”, sehingga mengandung makna himpunan segala usaha dan daya yang dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat budi, untuk memperbaiki sesuatu dengan tujuan mencapai kesempurnaan. 
 
Endang Saifuddin Anshari setelah merangkum seluruh pengertian tentang kebudayaan menyimpulkan beberapa hal yang patut digarisbawahi: 
 
1. Kebudayaan adalah hasil budidaya manusia dalam kehidupan bersama dalam suatu ruang dan waktu, yang lalu diwariskan kepada generasi penerusnya. Jadi kebudayaan bukan pembawaan, bukan pula sesuatu yang diwahyukan dari Tuhan. 
 
2. Ruang lingkup kebudayaan meliputi segala aspek kehidupan: sistem religi, sistem organisasi masyarakat, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, teknologi dan peralatan. 
 
3. Kebudayaan dibagi dua: immateri dan materi. Koentjaraningrat membaginya dalam tiga wujud: (1) wujud ideal (2) sistem sosial (3) fisik. Wujud ideal kebudayaan bersifat abstrak, tidak dapat diraba dan difoto, terdapat di dalam kepala-kepala atau alam pikiran masyarakat di mana kebudayaan itu hidup. Kebudayaan ideal ini bisa dituliskan dalam buku atau media lain oleh para penulis warga masyarakat yang bersangkutan. 
 
Wujud sistem sosial kebudayaan tercermin pada aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, bergaul satu dengan lainnya, berdasarkan adat tata-kelakuan tertentu. Sistem sosial bersifat konkrit, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, dipotret dan didokumentasikan. Jejaring sosial kiranya berada di lingkup ini. 
 
Sedangkan wujud fisik kebudayaan merupakan kebudayaan yang paling konkrit, karena merupakan seluruh dari hasil fisik dan aktivitas perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat. Misalnya: pabrik, bangunan, komputer, corak batik, kancing baju, dan sebagainya. 
 
Dari penjelasan di atas, maka kebudayaan itu: 
 
1. Bertujuan untuk kesempurnaan dan kesejahteraan manusia 
 
2. Merupakan jawaban atas tantangan, tuntutan, dan dorongan antara diri manusia dan dari ekstra diri manusia 
 
3. Mengalami proses tumbuh dan berkembang, pasang surut, kepunahan, tergantung pada masyarakatnya mau menjaga dan memelihara atau tidak. 
 
Kebudayaan merupakan pengertian yang umum, mencakup kebudayaan primitif, sedang berkembang, maupun yang modern. Kebudayaan yang sudah maju biasa disebut pula “peradaban” atau “civilization” (Inggris). Istilah peradaban biasanya digunakan untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang adiluhung, indah, seperti: kesenian, ilmu pengetahuan, kebudayaan yang sopan santun, serta sistem pergaulan yang kompleks, sistem teknologi. Itu berarti, boleh dikatakan, kebudayaan mencakup peradaban, tetapi tidak sebaliknya.
 
Menurut A.A.A. Fyzee, peradaban dapat diartikan dalam hubungannya dengan kewarganegaraan karena kata itu terambil dari kata “civies” (Latin) atau “civil” (Inggris) yang berarti menjadi seorang warganegara yang berkemajuan. Dalam hal ini, peradaban dapat diartikan menjadi dua cara: (1) proses menjadi berkeadaban, dan (2) suatu masyarakat manusia yang sudah berkembang atau maju. Karena itu, suatu peradaban ditunjukkan dalam gejala-gejala lahir, misalnya memiliki kota-kota besar, masyarakat telah memiliki keahlian di dalam industri (pertanian, pertambangan, pembangunan, pengangkutan, dsb.), memiliki tertib politik dan kekuasaan, dan terdidik dalam kesenian yang indah (Maryam dkk., 2003). 
 
Peradaban dan Kebudayaan Islam 
 
Landasan peradaban Islam sendiri, karenanya, adalah kebudayaan Islam, terutama wujud idealnya. Sementara landasan kebudayaan Islam adalah agama Islam. Karena itu, tidak seperti agama bumi, dalam Islam, agama bukan kebudayaan, tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Dalam pandangan Al-Faruqi, intisari peradaban Islam adalah agama Islam; dan intisari agama Islam adalah tauhid, perbuatan yang menegaskan bahwa Allah subhanahu wata’ala itu Esa, Pencipta mutlak lagi utama, Tuhan semesta alam. Karena itu, tauhid adalah yang memberikan identitas peradaban Islam, yang mengikat semua bagian, sehingga menjadikan mereka suatu badan yang integral dan organis yang disebut peradaban (Al-Faruqi, 2003). 
 
Masjid Biru di Cordoba. Salah satu warisan peradaban Islam di Spanyol, yang merupakan kebudayaan dalam wujud fisik6. 
 
Islam telah mendorong pemeluknya untuk menciptakan kebudayaan dengan berbagai seginya. Dorongan tersebut dapat dikaji dari ajaran dasarnya (Fadil, 2008), diantaranya: 
 
1. Islam menghormati akal manusia, meletakkan pada tempat yang terhormat, menyuruh manusia mempergunakan akal untuk memeriksa dan memikirkan alam, disamping dzikir kepada Allah (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 190-192) 
 
2. Islam mewajibkan pemeluknya untuk menuntut ilmu (Q.S. Al-Mujadilah [58]: 11) 
 
3. Islam melarang taqlid buta, menerima sesuatu tanpa diperiksa, meski dari nenek moyang sekalipun (Q.S. Bani Israil [17]: 36) 
 
4. Islam menyuruh pemeluknya mencari keridhaan Allah dalam semua nikmat yang telah diterima, menyuruh mempergunakan hak-haknya atas keduniaan, dalam pimpinan dan aturan agama (Q.S. Al-Qashash [28]: 77) 
 
5. Islam menyuruh pemeluknya gemar bepergian meninggalkan kampung halaman, berjalan ke negeri lain, menghubungkan silaturahim dengan bangsa dan golongan lain, bertukar pikiran, pengetahuan dan pandangan (Q.S. Ali Imran [3]: 97, Al-Hajj [22]: 46) 
 
6. Islam menyuruh pemeluknya memeriksa dan menerima kebenaran dari mana dan siapapun datangnya (Q.S. Az-Zumar[39]: 17-18) 
 
7. Islam menggalakkan para pemeluknya selalu mengadakan barang yang belum ada, merintis jalan yang belum ditempuh, membuat inisiatif dalam hal keduniaan yang memberi manfaat kepada masyarakat. Dengan dorongan-dorongan inilah peradaban Islam terbangun dan mencapai puncak-puncak kejayaannya sepanjang sejarah. Mengutip Dr. Hamid Fahmy Zarkasy dalam “Membangun Peradaban Islam dengan Ilmu Pengetahuan” (Fahmy, 2007), maka beliau sampaikan sbb.: 
 
“... Pada awalnya, sekitar 632 M, ketika Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam wafat, beliau telah melaksanakan berbagai tugas besar, yaitu yang pertama-tama adalah menyampaikan risalah (al-Qur’an), lalu membentuk komunitas muslim dan menyatukan suku-suku Arab sehingga menjadi sebuah bangsa yang homogin dan kuat, mendirikan negara Madinah, dan mendirikan institusi pendidikan yang kemudian menjadi cikal bakal tradisi intelektual Islam. 
 
Di masa Khulafa' al-Rasyidun Islam telah menyebar keluar dari jazirah Arabia. Pada waktu kekhalifahan Umayyah berdiri (tahun 661 M), umat Islam telah menguasai Damascus, pusat wilayah terpenting kerajaan Bizantium, Palestina, Suriah, Persia, (635-640 M), Mesir (641 M), Siprus (649 M), Iskandariyah (652 M), Transoxiana, kawasan Asia Barat dan Afrika Utara, dua kawasan yang dulunya jatuh ke tangan Alexander the Great. 
 
Pada waktu kekhalifahan Umayyah dengan komando panglima perang al-Hajjaj bin Yusuf, wilayah kekuasaan Islam meluas ke Bukhara, Takaristan (Afghanistan), Balkh, Samarqand, Khwarizm, Cina, Mongolia, Tashkent (751M) dan negara-negara Asia Tengah lainnya. Selanjutnya dibawah Panglima Muhammad ibn Qasim –anak tiri al-Hajjaj--Umayyah berhasil menguasai anak benua India. Pada tahun 711M ummat Islam di bawah kepemimpinan panglima perang Tariq bin Jihad berhasil menguasai Andalusia. Perhatikan peta penyebaran Islam di bawah ini7. 
 
Pada waktu itu Damascus menjadi ibukota dunia Islam yang kekuasaannya meliputi bagian-bagian penting benua Asia, Afrika dan Eropa. Di timur dari Asia Tengah dan Transoxiana sampai ke perbatasan Cina, anak benua India; di Barat dari Afrika Utara, Spanyol hingga ke Perancis selatan. Bukan hanya itu, institusi-institusi sosial dan hukum di dunia Islam yang baru berdiri itu pun berlaku. Perlu dicatat pula bahwa Muslim memasuki kawasan yang telah lama dikuasai oleh Kristen dengan tanpa perlawanan yang berarti. 
 
Menurut William R Cook pada tahun 711 -713 M kerajaan Kristen di kawasan Laut Tengah jatuh ke tangan Muslim dengan tanpa pertempuran, meskipun pada abad ke-7 kawasan itu cukup makmur. Bahkan selama kurang lebih 300 tahun hampir keseluruhan kawasan itu dapat menjadi Muslim. Ketika kekuasaan Umayyah melemah dan runtuh, kekhalifahan Abbasiyah muncul di Baghdad. Ibukota dunia Islam lalu berpindah dari Damascus ke Baghdad. Perlu dicatat bahwa pada tahun 755 sesudah kekhalifahan Umayyah disingkirkan dari Damascus oleh dinasti Abbasiyyah yang berpusat di Baghdad, putera mahkota Umayyah yang terakhir Abd al-Rahman lari ke Spanyol dan mendirikan kekuasaan disana yang bebas dari kekuasaan Abbasiyah. 
 
Dimasa kekuasaannya Abd al-Rahman berhasil membangun masjid Cordova yang megah, tapi pada masa penaklukan Ferdinand III tahun 1236, ia diubah menjadi katedral Kristen. Selain itu Cordova menurut Philip K. Hitti “telah memprakarsai gerakan intelektual yang membuat Spanyol-Islam dari abad sembilan sampai sebelas menjadi salah satu Pusat Kebudayaan Islam”. Kemajuan dalam bidang seni, sastra, ilmu agama, sains, filsafat, tata kota dan lain-lain telah mempesona orang-orang Kristen yang akhirnya mereka terdorong untuk meniru gaya hidup orang Islam. Karena jumlah mereka cukup banyak dan membentuk kelas sosial tersendiri maka akhirnya orang-orang peniru itu diberi julukan Mozarab (arabnya Musta’rib). 
 
Setelah Spanyol akhirnya runtuh pada tahun 1031 M, tumbuh kerajaan-kerajaan kecil yang lemah dan saling bermusuhan. Puncak kejatuhannya adalah tahun 1492 ketika Granada jatuh. Sisa-sisa peninggalannya diambil alih oleh raja-raja Katholik dan bahkan di bawah raja Philiph II umat Islam benar-benar diusir dari negeri yang pernah mereka makmurkan itu. Bahkan di masa Isabel negeri itu benar-benar menjadi korban kecemburuan agama dan dihancurkan. Jadi umat Islam berkuasa di Spanyol sejak tahun 755 hingga dinasti Muslim di Granada dikalahkan pada tahun 1492 M, yang secara keseluruhan terhitung Muslim menguasai Spanyol selama 800 tahun. 
 
Abbasiyah berkuasa selama kurang lebih 500 tahun (750-1258), menguasai kawasan-kawasan yang sebelumnya dikuasai dinasti Umayyah. Luas wilayah Abbasiyah dapat dilihat dari propinsi-propinsi yang berada dibawah kekuasaannya. Dimasa kekuasaan Abbasiyah terdapat kurang lebih 23 propinsi, diantaranya adalah Afrika sebelah Barat, Mesir, Palestina, Irak, Azerbaijan, Persia, Afghanistan, Bukhara Samarqand, Tashkent, Turki, dan lain sebagainya. Dimasa kekhalifahan Abbasiyah konsentrasi bukan pada perluasan wilayah tapi pada pengembangan ilmu pengetahuan. 
 
Kekhalifahan Abbasiyah akhirnya jatuh ke tangan tentara Hulagu, penguasa Mongol. Dengan menguasai Baghdad tahun 1258, Hulagu menghancurkan hampir keseluruhan kota, termasuk perpustakaannya yang tak ada bandingannya itu. 
 
Tidak lama setelah Baghdad jatuh berdirilah kekhalifahan Islam baru di Turki pada tahun 1299, yang asal usulnya adalah dari bangsa Seljuk. Namun Turki resmi menjadi sebuah kekhalifahan setelah peristiwa penaklukan Konstantinopel (kemudian disebut Istanbul) pada tahun 1453. Kekhalifahan Turki ini berkuasa hingga 1922, dengan luas kekuasaannya meliputi tiga benua yaitu Eropa Tenggara, Timur tengah dan Afrika Utara, membentang dari selat Gibraltar di Barat, hingga Laut Kaspia dan Teluk Persia di Timur. Dari pinggiran Austria, Slovakia dan beberapa bagian Ukraina di Utara hingga Sudan, Eriterea, Somalia dan Yaman di Selatan. Kekhalifahan ini merupakan pusat yang menghubungkan dunia Timur dan Barat selama 6 abad lamanya. Dengan ibukotanya Istanbul, kekaisaran Turki Usmani ini menggantikan kekaisaran di kawasan Laut Tengah seperti Romawi dan Bizantium, sehingga tak heran jika Turki Usmani ini dianggap pewaris kekaisaran Romawi dan juga tradisi kekhalifahan Islam. 
 
Di masa kegemilangannya kekhalifahan Turki Usmani menjadi satu-satunya kekuatan Islam yang benar-benar menjadi halangan bagi bangkitnya kekuatan Eropa Barat, antara abad ke 15 hingga 19 M. Ia perlahan-lahan menurun pada abad ke 19 dan benar-benar runtuh pada Perang Dunia I, sehingga pemerintahannya hancur dan terpecah-pecah menjadi negara-negara nasional. Sebagainya gantinya timbullah Revolusi Turki di bawah pimipinan Mustafa Kemal Ataturk yang pada tanggal 1 November 1922 kekhalifahan Turki dihapuskan dan pada 29 Oktober 1923 secara resmi berganti menjadi Republik.” Perhatikan peta kekuasaan Muslim di bawah ini8. 
 
Peradaban Islam dan Kegemilangan Ilmu 
 
Fahmy menyimpulkan bahwa apa yang tersirat dari kegemilangan peradaban Islam sejak zaman Khulafa’ Rasyidah abad 7 M hingga runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani pada abad ke-19 M adalah kegemilangan ilmu pengetahuan. 
 
Ketika umat Islam meluaskan wilayah kekuasaannya, mereka melakukan tiga hal penting yang dapat disarikan menjadi tiga tahap. Tahap pertama, perluasan kekuasaan politik yang didominasi oleh kekuatan militer. Kedua, penyebaran agama ke tengah-tengah masyarakat. 
 
Pada tahap ini yang dominan adalah kegiatan dakwah dan kegiatan keilmuan yang berpegang pada al-Qur'an. Umat berupaya mengintegrasikan ajaran-ajaran dalam al-Qur'an dengan ilmu-ilmu yang berasal dari peradaban lain, terutamanya Yunani, India dan Persia. Ketiga, penyebaran bahasa Arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan bahasa komunikasi. 
 
Dari ketiga tahap ini dapat dikatakan bahwa kekuasaan dalam sejarah Islam selalu dibarengi dengan ilmu pengetahuan atau bahkan terkadang dipersembahkan untuk ilmu pengetahuan. 
 
Karena itu, peradaban emas yang pernah dicapai oleh kaum Muslimin itu ditandai dengan (1) tingginya kemampuan literasi pada diri ilmuwan dan tokoh-tokoh cendekiawan oleh sebab ilmu pengetahuan, serta (2) lahirnya ilmuwan besar berikut karya-karya mereka (Iskandar, 2010). 
 
Jika buku dianggap sebagai salah satu warisan sebuah peradaban yang gilang-gemilang, maka peradaban Islam menjadi peradaban garda depan yang ditopang oleh buku (literasi). Di samping menjadi sumber inspirasi bagi kemajuan sebuah peradaban, buku juga menjadi ukuran sejauh mana sebuah peradaban dipandang maju. Tak heran jika para khalifah menaruh perhatian yang serius terhadap karya berupa buku dari para cendekiawan muslim. Perpustakaan Umum Cordova memiliki tak kurang 400.000 buku. Perpustakaan Darul Hikmah, Kairo, mengoleksi 2 juta judul buku. Perpustakaan Umum Tripoly bahkan memiliki koleksi buku lebih dari 3 juta judul –yang kemudian dibakar oleh pasukan Salib Eropa. Sementara Perpustakaan al-Hakim di Andalusia memiliki koleksi buku di dalam 40 ruangannya, dimana satu ruangan memiliki tak kurang dari 18.000 buku. Artinya, total 720.000 buku. 
 
Al-Azhar, pusat pengajaran ilmu pengetahuan Islam terbesar dan simbol peradaban Islam dunia yang masih bertahan hingga kini9. 
 
Bloom & Blair berkomentar tentang hal ini, “Rata-rata tingkat kemampuan literasi (kemampuan melek huruf membaca dan menulis) dunia Islam di abad pertengahan lebih tinggi daripada Byzantium dan Eropa. Karya tulis ditemukan di setiap tempat dalam peradaban ini.” (Bloom & Blair, 2002). 
 
Dari perpustakaan-perpustakaan itulah dimulainya penerjemahan buku-buku, yang dilanjutkan dengan pengkajian dan pengembangan atas isi buku-buku tersebut. Dari sini pula sesungguhnya dimulainya kelahiran para ilmuwan dan cendekiawan Muslim yang kemudian melahirkan karya-karya yang amat mengagumkan, yang mereka sumbangkan demi kemajuan peradaban Islam saat itu. Ibnu Sina (ahli kedokteran, yang di Barat dikenal dengan Avicenne. Lihat gambar di samping10), Ibn Rusyd (filosof, dokter, pakar fikih), Az-Zahrawi (ahli bedah), Al-Khawarizm (ahli matematika), Al-Idrisi (pakar geografi), Jabir ibn Hayyan (ahli kimia), dan masih banyak ilmuwan Muslim yang lain. 
 
Jacques C. Reister berkomentar, “Selama lima ratus tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi.” Tak kurang mengejutkan, Barach Obama dalam pidatonya 5 Juli 2009 lalu sempat berujar, “Peradaban berhutang besar pada Islam. Islamlah—di tempat-tempat seperti Universitas Al-Azhar—yang mengusung lentera ilmu selama berabad-abad serta membuka jalan bagi era Kebangkitan Kembali dan era Pencerahan di Eropa.” 
 
Runtuhnya Peradaban Islam 
 
Peradaban Islam runtuh oleh banyak sebab. Tiga sebab pokok kemunduran peradaban Islam (Fadil, 2008) adalah sebagai berikut: 
 
 
1. Banyak filsafat Islam yang dimasukkan oleh al-Ghazali dalam alam islami Timur. Sementara Ibn Rusyd secara agak berlebihan memasukkannya ke alam islami Barat. Al-Ghazali cenderung mengarah ke bidang rohaniah sehingga melebur ke alam tasawuf (sufistik). Ini menjadikan kaum muslimin stagnan, jumud, dan pintu ijtihad tertutup. Sementara Ibn Rusyd lebih condong ke materialisme yang diterima Barat. Al-Ghazali sukses di Timur, Ibn Rusyd sukses di Barat. Meluaslah jurang antara Timur dan Barat. 
 
======== 
PS: sedikit catatan dari saya tentang opini penulis soal klasik simplistik bahwa al-ghazali yang anti filsafat Yunani jadi penyebab stagnansi kemajuan ummat Islam dan berbanding terbalik dengan ibn-Rushd yg pro filsafat Yunani. Ini tidak benar. Bisa cek ke buku2 sejarah mutakhir tentang peran Ghazali dan sikapnya ttg filsafat Yunani.
= =======
 
2. Para khalifah dan amir mulai melalaikan ilmu pengetahuan. Puncak-puncak kejayaan telah melalaikan para pemimpin kekhalifahan dan pemimpin umat menuju kemerosotan di berbagai bidang, terutama ilmu pengetahuan. Mereka lebih senang berpesta-pora dalam kemewahan. Aturan-aturan agama dilanggar. Ketauhidan diabaikan. Al-Mutawakkil misalnya memiliki selir 4000 orang, ghilman (kasim, budak lelaki) yang merupakan warisan Persia telah menjadi institusi sosial.
 
Khalifah al-Amin bahkan mensahkan mereka menjadi alat pelampiasan nafsu homoseksual. Khalifah al-Mumtaz (khalifah ke-13 Bani Abbasiyah) adalah khalifah pertama yang menggunakan pelana dan baju emas. Khalifah Harun al-Rasyid menyuruh orang menuliskan namanya pada pualam merah delima yang sangat terkenal dalam dunia Arab, sebanding dengan Kohinoor di India yang berbiaya pembuatan 40.000 dinar. Harem, pesta, foya-foya, emas, intan permata, kekuasan yang disalahgunakan, kekuasaan mutlak para khalifah diselewengkan. Semua menjauhkan mereka dari tauhid. Padahal, tauhid adalah saripati agama Islam; dan agama Islam adalah saripati kebudayaan dan peradaban Islam. Tanpa tauhid, peradaban Islam pastilah runtuh. 
Wallahu a’lam. 
 
3. Dunia Islam ditimpa berbagai pemberontakan, baik intern maupun ekstern. 
Serangan dari ekstern yang sangat berpengaruh adalah 
 
a. Perang Salib dari abad ke-11 hingga akhir abad 13. 
 
b. Pada saat umat Islam di Asia Barat dan Mesir mendapat serang dalam Perang Salib, umat Islam di Spanyol mendapat serangan dari negara Kristen di utara. Kekhalifahan Umayyah di Spanyol terpecah-belah dalam imarat-imarat kecil. Satu persatu kerajaan Islam di Spanyol jatuh, hingga terakhir pada 2 Januari 1492 Granada, benteng terakhir umat Islam di Spanyol dapat ditaklukkan oleh Raja Ferdinand. Umat Islam dibantai habis. Yang tidak tertangkap, lari keluar Spanyol. 
 
c. Penyerbuan Bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan ke kekhalifahan Abbasiyyah di Baghdad. Tanggal 2 Januari 1258 mereka mengepung Baghdad. 13 Februari 1258 bangsa Mongol memasuki kota Baghdad dan membumi-hanguskan kota 1001 malam itu. Tak kurang 800.000 orang muslim dibunuh, termasuk khalifah Al-Musta’sim yang meninggal di bawah tapak kaki kuda bangsa Mongol. Peradaban adiluhung yang telah dibangun 500 tahun diluluhlantakkan dalam waktu singkat, termasuk koleksi ribuan kitab di perpustakaan kota Baghdad yang ditenggelamkan dan tintanya menghitami sungat Tigris. Peta di atas menggambarkan kekuasaan Hulagu Khan pasca invasi ke Baghdad itu11 . 
 
d. Kekhalifahan Islam terakhir, Turki Usmani, akhirnya pun bertekuk lutut pada Perang Dunia I, hingga kekhalifahan Turki Usmani dihapuskan dan Turki diubah menjadi Republik oleh Kemal Attaturk pada 29 Oktober 1923. Muslim lalu terpecah-belah dalam lebih dari 50 negara-negara kecil. 
 
Upaya Mengembalikan Peradaban Islam 
 
Dari sejarah jatuh bangunnya peradaban Islam di atas dapat diambil pelajaran penting. Pertama, bahwa peradaban dimulai dari komunitas kecil yang bergiat mempelajari saripati agama, yakni tauhid, dengan bersumberkan pada Al-Qur’an dan Hadits. Kedua, komunitas berbasiskan Al-Qur’an dan Hadits ini semakin besar, membentuk kekuatan (militer), dan menjadi institusi negara. Dan ketiga, visi dan misi umat Islam secara keseluruhan hampir sama: mengembangkan ilmu pengetahuan (Fahmy, 2007). 
 
Jadi, dari ketiga poin di atas, kini dapat diambil ta’bir bahwa jika peradaban Islam dahulu dibangun dengan ilmu pengetahuan, maka di masa kini dan masa depan, peradaban Islam juga harus dibangun dari ilmu pengetahuan pula. Hanya saja, upaya untuk mengembalikan peradaban Islam itu menemui tantangan yang sangat berbeda dengan masa dahulu, diantaranya: 
 
1. Dulu umat Islam secara politis dapat mempersatukan wilayah teritori yang sangat luas menjadi satu kekhalifahan. Sekarang agaknya sulit mempersatukan lebih dari 50 negara muslim-–akibat kolonialisme dan nasionalisme--dalam satu ikatan. Mereka tidak mudah dipersatukan. 
 
2. Masuknya faham-faham Barat, seperti: demokrasi, sekulerisme, liberalisme, kapitalisme, sosialisme, dan sebagainya yang telah memengaruhi dan bahkan mengubah cara berpikir umat Islam. Akibatnya, perbedaan cara pandang umat Islam terhadap suatu masalah menjadi semakin tajam, beragam dan berbeda-beda. 
 
3. Perpecahan antarumat, baik dalam masalah Aqidah, Syariah, maupun Politik. 
 
4. Ada umat Islam yang mau bekerjasama dengan asing dan bermusuhan dengan umat Islam sendiri. 
 
5. Dalam ekonomi, negara-negara Islam yang kaya raya dengan sumber daya alam telah dikuasai oleh sistem kapitalisme sehingga menjadi mandul. Umat Islam tidak bisa mengatur ekonominya sendiri, bahkan tidak bisa memproduksi kebutuhan sendiri. 
 
6. Al-Qur’an dan As-Sunnah (Al-Hadits) tidak lagi menjadi kajian utama di berbagai lembaga pendidikan Islam. Demikian juga Bahasa Arab telah ditinggalkan umat Islam. 
 
Oleh karena itu, upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mengembalikan peradaban Islam, diantaranya: 
 
1. Mengembalikan persatuan umat. Perpecahan adalah sebab utama umat kepada kejatuhan peradaban. Maka persatuan dan kesatuan adalah satu-satunya alternatif untuk meraih kemenangan, mengembalikan kejayaan peradaban Islam kembali. 
 
a. Menyeru umat untuk berkomitmen terhadap Islam, baik dari segi aqidah, syariah, maupun politik. 
 
b. Mengambil satu sumber hidayah, yakni Al-Qur’an dan Hadits. Sementara itu mengikuti petunjuk orang-orang Yahudi, Nasrani, serta pemeluk lainnya hanya akan membuat kita tersesat arah serta jalan. 
 
c. Membina persatuan aqidah umat. 
 
2. Mendirikan (kembali) Daulah Islam dan Mengembalikan Khilafah Rasyidah. 
 
Syed Muhammad Naquib al-Attas melihat dari sisi lain, bahwa pemicu situasi dan kondisi yang runyam seperti saat ini bukanlah masalah politik atau kepemimpinan dalam Islam. Kesalahannya terletak pada kebingungan dan kesalahan persepsi para pemimpin Muslim di semua lapisan dan segi. Hal itu berdampak pada arah dan tujuan sistem pendidikan Islam. Seperti lingkaran setan, sistem pendidikan yang diproduk oleh pemimpin berkualitas rendah akan menghasilkan pemimpin berkualitas rendah pula. Al-Attas menyebut situasi seperti ini sebagai keadaan “ketiadaan adab” (loss of adab). 
 
Oleh sebab itu solusi yang ditawarkan al-Attas sangat mendasar yaitu: 
 
1. Menghilangkan kebingungan dan kekeliruan dalam ilmu pengetahuan. Kebingungan dan kekeliruan menurut al-Attas disebabkan oleh kebodohan, dan kebodohan menurutnya seperti yang ia rujuk dari definisi ibn Manzur dalam Lisan al-Arab ada dua: "pertama kebodohan ringan adalah kurangnya ilmu mengenai sesuatu yang seharusnya diketahui; kedua, kebodohan berat, yaitu keyakian yang salah yang bertentangan dengan fakta ataupun realitas, meyakini sesuatu yang berbeda dari sesuatu itu sendiri, ataupun melakukan sesuatu dengan cara-cara yang berbeda dari bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan."
 
2. Faham yang telah berbentuk konsep yang datangnya dari pandangan hidup asing dan masuk ke dalam pikiran umat Islam harus dihilangkan dari pikiran umat Islam. Kepercayaan pada mitologi, kekuatan magis, doktrin-doktri nasional dan kultural yang bertentangan dengan Islam, serta faham-faham sekularisme, liberalisme, sosialisme dsb. Jika paham itu berasal dari Barat maka perlu langkah de-westernisasi secara sistimatis dan terprogram. Selanjutnya memasukkan konsep-konsep penting Islam ke dalam pikiran umat Islam. Al-Attas mengusulkan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Bagaimanapun ilmu itu bukan bebas nilai (value free), tetapi sarat nilai (value laden). 
 
Peran Jejaring Sosial 
 
Dimana peran Jejaring Sosial khususnya dan IT umumnya dalam mengembalikan peradaban Islam? 
 
Saya melihat jejaring sosial (dan IT) adalah sebatas sarana (tools) mutakhir yang mendukung upaya-upaya mengembalikan peradaban Islam agar lebih efektif dan efisien. Jejaring sosial bukanlah bagian dari “upaya”, tetapi bagian dari “alat” untuk mencapai tujuan mengembalikan peradaban. Sarana yang dimaksud sama dengan penggunaan kuda, unta, pena, pedang dan sebagainya yang digunakan dalam membangun peradaban Islam masa lalu. Karena sifatnya sebagai sarana, maka efektivitas dan efisiensinya sangat tergantung kepada manusia (user) atau organisasi yang mempergunakannya, dan bukan pada kecanggihan teknologi jejaring sosial yang digunakan. 
 
Untuk melihat peran itu, lebih dahulu perlu diketahui karakteristik atau informasi lain tentang Jejaring Sosial, diantaranya sebagai berikut: 
 
1. Jejaring sosial bisa diikuti oleh siapa saja, bahkan pada tingkat kita tidak tahu secara detil dan pasti siapa anggota yang bergabung ke jejaring sosial kita. Gambar di samping ini mungkin bisa dijadikan ilustrasi13. Ketidaktahuan ini bisa menjadi bumerang ketika berjejaring; sebagai contoh: kita ternyata berhubungan dengan orang yang salah (misalnya: ternyata ia bukan teman, melainkan musuh). 
 
2. Anggota jejaring sosial sangat beragam, sehingga sangat mungkin “menjebak”. Tidak ada filter yang disediakan oleh jejaring sosial untuk menyaring anggotanya secara selektif, karena proses verifikasi hanya melalui input data yang bisa manipulatif. Hanya sebagai contoh, berapa banyak anak-anak di bawah umur bisa bergabung ke Facebook? Padahal Facebook mensyaratkan umur minimal 13 tahun untuk bisa melakukan registrasi sebagai anggota. 
 
Keberagaman tersebut tentu menyisakan pekerjaan ekstra dalam kaitannya upaya bersatu padu untuk mengembalikan peradaban umat lewat jejaring sosial. Misal: tidak mungkin kita mengajak anak-anak belum cukup umur untuk mencari solusi untuk mengatasi bagaimana mendidik anak yang tepat sesuai syariat Islam. 
 
3. Jenis jejaring sosial sangat banyak (lihat perkembangannya hingga 2006 pada gambar di samping14) dengan fasilitas dan fitur yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Belum ada integrasi antarjejaring sosial, kecuali barangkali sekedar linked pada fasilitas tertentu. Dengan demikian, mengelola anggota –jika berbeda jejaring sosial, tentu merupakan kesulitan tersendiri. 
 
4. Meski Milgram menyatakan keterhubungan antar individu bisa sampai 6 derajat, tetapi pada penelitian mutakhir tentang penyebaran pengaruh melalui jejaring sosial menunjukkan hanya sampai 3 derajat saja. Mereka menyebutnya Aturan Tiga Derajat (Three Degrees of Influence Rule). Semua yang kita lakukan atau “katakan” cenderung menyebar sepanjang jejaring kita berdampak kepada teman kita (satu derajat), temannya teman kita (dua derajat), dan temannya temannya teman kita (tiga derajat). Pengaruh itu berangsur-angsur melemah dan tidak lagi kuat bagi orang-orang di luar perbatasan sosial yang terletak di tiga derajat keterpisahan. Demikian pula, kita dipengaruhi teman dalam tiga derajat dan biasanya tidak dipengaruhi oleh mereka yang berada di luarnya (Christakis, 2010). Lihat ilustrasi gambar di samping ini15 . Jika kita memiliki 20 teman, dan masing-masing teman juga memiliki 20 teman, demikian juga temannya teman, maka dengan tiga derajat keterpisahan kita memiliki 20 x 20 x 20 = 8.000 teman. Jumlah yang banyak buat kita, tetapi terlalu sedikit tentunya bagi sebuah peradaban. 
 
Christakis sampai pada kesimpulan bahwa enam derajat keterpisahan antara dua individu menunjukkan seberapa luas kita terhubung. Tetapi tiga derajat keterpisahan menunjukkan seberapa luas “pengaruh” yang bisa kita tularkan. Dalam konteks membangun kembali peradaban, yang kita perlukan tentu hubungan hingga level “memengaruhi”, bahkan “menggerakkan”. 
 
Mungkin akan lebih powerful jika ke-8000 sambungan kita adalah orang-orang yang sangat kita kenal komitmennya dan kita tahu pasti bahwa mereka adalah “teman seperjuangan”. Tetapi jika masing-masing memiliki 8.000 teman juga, maka itu “hanya” akan menghasilkan 64.000.000 sambungan (berderajat hingga enam keterpisahan). Seperempat penduduk Indonesia. Tetapi pada kenyataannya, tidak ada percabangan yang 100% berjalan seperti itu. Anda yang berkecimpung di bisnis MLM pasti bisa menjawabnya. 
 
5. Karena struktur keterhubungan anggota bebas, maka boleh jadi bentuk struktur jejaring sosial kita bukanlah seperti barisan ember, pohon telepon, atau sepasukan tentara. Bentuknya lebih merupakan benang-ruwet. Artinya, “temannya temannya teman” kita boleh jadi ternyata “teman” kita juga. Ini tentu agak sulit dalam mengelola, jika struktur jejaring sosial kita ibaratkan sebuah organisasi. 
 
6. Dalam sebuah penelitian ditemukan fakta bahwa rentang umur anggota Facebook terbesar adalah 18-24, 25-34, dan 14-17. Mereka berumur dengan tingkat konsumtif yang rendah. Disimpulkan bahwa mereka bergabung ke jejaring sosial sekedar “having fun”, untuk bersenang-senang saja. Apakah kita bisa membangun peradaban dengan tipe orang-orang semacam ini? 
 
7. Dalam sebuah penelitian juga disebutkan bahwa rata-rata orang mengakses situs jejaring sosial tiap harinya 2x lebih banyak daripada menonton televisi. Apakah yang mereka kerjakan, kira-kira (lihat no. 6)? Kelihatannya jejaring sosial, terhubung dengan orang lain, “lebih mengasyikkan” daripada menonton televisi. Apakah kita bisa memgembalikan peradaban dengan mereka? 
 
8. Pemilik Facebook adalah Mark Zukerberg (gambar di atas, banyak di internet). Ia seorang Yahudi. Kabarnya-–saya belum mendapat datanya—-situs-situs jejaring sosial yang lain (luar negeri) setali tiga uang. No comment. Pertanyaannya, apakah kita akan memanfaatkan jejaring sosial Yahudi untuk membangun peradaban Islam? Ada beberapa jejaring sosial (kabarnya) milik muslim, seperti: Muxlim.com, Iqranation.com, Muslimsocial.com, Naseeb.com, Pencerahanhati.com. Tetapi efektivitasnya perlu dikaji kembali. 
 
9. Dll. 
 
Singkat kata, jejaring sosial memang powerful kaitannya untuk membangun jejaring dengan banyak orang untuk melakukan sesuatu. Tetapi melihat efektivitas, Aturan Tiga Derajat Pengaruh, ketidakpastian anggota, penggunaan resource miliki Yahudi, anggotanya yang lebih banyak having fun saja ketimbang keperluan lebih serius, maka menurut pendapat saya, Jejaring Sosial di satu sisi hanya sebagai alat bantu (sarana) dalam melakukan upaya-upaya mengembalikan peradaban Islam, dan di sisi lain efektivitasnya layak dikaji ulang. Tetapi untuk lingkup kecil, dengan manajemen yang bagus, kiranya masih bisa memberikan manfaat bagi berjalannya dakwah kepada sesama muslim dalam kaitannya dengan tujuan yang besar, seperti membangun kembali peradaban Islam yang telah terpuruk setidaknya sejak 1924 ketika kekhalifahan Turki Usmani dihapuskan. 
 
Nampaknya penggunaan IT mengandungi fungsi yang sama, sebagai alat bantu, yang mungkin lebih luas penggunaannya ketimbang jejaring sosial. Kiranya inovasi dan kreativitas sangat dituntut kepada semua pihak, utamanya kaum muda Muslim, untuk menemukan cara-cara yang lenbih efektif dan efisien, serta masif, dalam bahu-membahu mengembalikan peradaban Islam dengan menggunakan teknologi, utamanya IT dan jejaring sosial. 
 
Wallahu a’lam. 
 
*** 
 
 
Referensi 
 
 
Nicholas A. Christakis, M.D., Ph.D., James H. Flower, Ph.D. Connected: Dahsyatnya Kekuatan Jejaring Sosial Mengubah Hidup Kita. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2010 
 
Fadil SJ, Drs., M.Ag. Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. UIN Malang Press: Malang, 2008 
 
Siti Maryam dkk. Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern. LESFI IAIN Sunan Kalijaga: Jogjakarta, 2003 
 
Ismail R. Al-Faruqi, Lois Lamya Al-Faruqi. Atlas Budaya Islam: Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang. Mizan: Bandung, 2003 
 
Umar Sulaiman Al-Asyqar, Dr. Umat Islam Menyongsong Peradaban Baru. Penerbit Amzah: 2002 
 
Roby Muhammad. Search in Social Networks. Columbia University: 2010 
 
Hamid Fahmy Zarkasy, Dr. Membangun Peradaban Islam dengan Ilmu Pengetahuan. Universitas Ibnu Khaldun: Bogor, 2007 
 
Beberapa sumber di internet. 
 
 
Penulis 
 
 
Bahtiar HS, dilahirkan di kota reog Ponorogo pada 1971. Ia adalah General Manager sebuah perusahaan penyedia solusi di bidang teknologi informasi (IT) berpusat di Surabaya. Lulus dari Teknik Informatika ITS Surabaya tahun 1997. 
 
Ia suka menulis hal-hal yang kontemplatif dan inspiratif. Lahirlah dari tangannya tulisantulisan semacam Oase Iman di portal eramuslim maupun Napak Tilas di majalah alMu’tashim — dimana ia menjadi pemimpin redaksinya. 
 
Ia pernah menjadi pemenang dengan penghargaan khusus LMCPI Annida ke-IV, Juara Harapan III Lomba Penulisan Cerita Fiksi Keagamaan Depag RI tahun 2002, pemenang kategori Breakthru (berdasarkan orisinalitas ide) dalam Speedy Blogging Competition 2008 Telkom Speedy, pemenang pendukung pada PropertyKita.com Blogging Competition 2009, pemenang finalis lomba menulis tentang Perbankan Islam pada iB Blogging Competition 2009 Kompasiana. 
 
Beberapa buku antologinya: Suatu Petang di Kafe Kuningan (FBA Press, 2001), Merah di Jenin (FBA Press, 2002), Cahaya di Lorong Purnama (Asy-Syamil, 2002) dan Matahari Tak Pernah Sendiri (LPPH, 2004). Bukunya terbit pada pertengahan 2008 berjudul Jejak-jejak Surga Sang Nabi, berbasis tarikh Rasulullah Saw. (Lingkar Pena Publishing House, Jakarta, 2009). Salah satu tulisannya di Oase Iman dimuat dalam antologi Oase Iman: Menembus Batas Logika (Eramuslim Global Media, Jakarta, 2009). Dan saat ini tengah menantikan kelahiran bukunya kedua: 20 Tahun Mencari Keadilan (Inti Medina, 2010). 
 
Ia sempat menjadi editor beberapa buku, antara lain: Roman Percintaan Para Nabi (Bina Ilmu, 2007), Al-Kayyis: Insan Berkecerdasan Hati (JDA Press, 2007), Anak Cerdas Anak Mulia Anak Indah (Arga Publishing, 2008), Panduan Singkat Haji Tamattu’ (Nashiril Haq, 2008), Meniti Jalan Al-Kayyis2: Menjaga Hati, Menyemai Cinta (Vde Press, 2008), dan Menyambut Usia 40 Tahun (Nashiril Haq, 2009). 
 
Ketua FLP Jatim 2004-2006 tinggal di Surabaya bersama istri tercintanya dan malaikatmalaikat kecilnya. Email: bahtiar.hs@infoglobal.co.id atau lewat blog pribadinya:http://bahtiarhs.ne
 
 
Diambil dari https://docs.google.com/fileview?id=0B0PykfKdB_PLMzU4ZDQ5N2QtN2VkMS00MmY3LThiM2UtYmVhZmNmNDQ4ZjFl&hl=en&pli=1