Mendidik Anak Dengan Cinta dan Logika

Salah satu kesalahan dari orang tua adalah mendidik anak dengan cinta saja. Jika demikian, nantinya akan menghasilkan bonding yang terlalu kuat antara anak dengan ibu atau ayahnya. 
 
 
Ada dua macam gaya dalam mengasuh umum yang kurang tepat, yaitu:
 
Gaya Helikopter  
Dalam gaya helikopter ini cara memaknai cinta adalah dengan mutar-mutar diatas anak, dengan kata lain tiada hari tanpa memberikan perlindungan pada anak. Ketika anak mendapatkan kesulitan, orang tua langsung datang dan "menyelamatkannya" dengan kata lain anak harus selalu merasa aman, nyaman dan terjamin.

Sebagai orang tua, tentunya terkadang terselip rasa tidak tega pada anak, sehingga kita menjadi over protective pada anak. Tapi tahukah anda, dengan melakukan ini kita bukan saja tidak membantu anak, tetapi kita telah mencuri kesempatan penting anak untuk belajar.
Hal yang ditangkap oleh anak dari gaya helikopter ini adalah "Kamu lemah, tidak bisa tanpa mama/papa." 
 
Jika hal ini diteruskan, ketika anak lepas dari rumah, ia akan memiliki kesulitan dalam "menegakkan kepala" atau kesulitan dalam menghadapi masalah. Anak juga tidak sanggup berfikir tentang dirinya dan tak tahan terhadap kekuasaan diluar.
 
Seorang anak yang tidak pernah merasa sakit, tidak akan tahu apa rasanya enak atau sehat. Begitupun halnya dengan seorang anak yang tidak pernah memberi, tentu ia tidak akan tahu apa rasanya kenikmatan memberi. 
 
Sersan Pelatih  
Dalam gaya Sersan Pelatih bentuk dari perwujudan cinta adalah menjadi seseorang yang selalu memberi perintah atau instruksi pada anak. Semakin keras teriakan, maka akan semakin terkontrol. 
 
Anak terus menerus diperintah dan mendengar kata "Apa Mama bilang?!"
Anak tidak sempat berfikir karena proses berfikir diambil alih oleh orang tua. Sehingga yang ditangkap oleh anak adalah "Aku nggak bisa mikir, mama/papa yang mikirin."

Jika hal ini berlanjut, anak akan mengalami terlalu banyak melakukan penghormatan atau menjawab ya kepada orang tua. Ketika remaja, ia akan juga menjawab "ya" tetapi yang dilakukan akan sebaliknya.
 
Untuk menghindari kedua gaya diatas, kita harus mengasuh anak dengan Cinta dan Logika.
 
Hal pertama yang harus diingat adalah Anak itu adalah amanah atau titipan dari Allah SWT. Tidak ada yang mengetahui umur seseorang. Oleh karena itu kita harus mengasuhnya sebaik mungkin. Anak dititipkan Allah SWT untuk menjadi kebahagiaan, kesenangan dan juga ujian bagi orang tuanya.
 
Hadirkan Allah/Tuhan dalam diri anak. Penanaman agama HARUS dilakukan oleh kedua orang tuanya. Tidak bisa di lakukan oleh orang lain. Karena nantinya di akhirat-pun yang dimintai pertanggung-jawaban adalah orang tuanya, bukan orang lain.
 
Agama sebaiknya diajarkan bukan agar anak BISA tetapi agar anak SUKA. Dengan menyukai, mencintai tentu anak akan lebih mudah dalam mendalaminya.
 
Sebagai orangtua kita juga sebaiknya harus mencari sumber rezeki yang Halal dan Thayyib.
 
Persiapkanlah Iman Ibadah dan Akhlak anak sebelum Baligh, bukan hanya mempersiapkan pekerjaan rumah atau tugas di sekolahnya. Hendaknya ia memiliki pengetahuan mengenai hal-hal diatas sebelum ia mengalami Pubertas. 
"Allah sangat Mencintai umatnya. Allah memberikan kebebasan berfikir. Allah memperkenalkan pilihan dan konsekuensi. Allah tidak menyetujui ketidakpatuhan. "
 
Dengan memiliki pemahaman agama yang baik dan juga budaya keluarga yang baik, maka dapat menjadi tameng untuk mencegah pornografi.
Dan karena tantangan yang kita dan anak kita hadapi kini beraneka ragam, bahkan bisa dalam waktu bersamaan, maka kita harus "tega" dalam membiarkan anak menerima konsekuensinya agar anak dapat belajar dan berfikir.
 
Kedua, kita harus bisa memutuskan cara pengasuhan yang salah di masa lalu dan mengasuh anak kita dengan cinta dan logika.
 
Pusaran cinta pengasuhan yang efektif adalah :
Cinta yang tidak permisif (tidak selalu membolehkan, harus ada alasannya) Cinta tidak mentolerir tingkah laku yang tidak respek (anak harus memiliki perilaku yang baik dan juga bisa membela kepentingannya sendiri) Cinta yang cukup kuat untuk membiarkan anak berbuat salah dan mengizinkannya menjalani konsekuensinya.  
Ketiga, Belajar Gagal untuk bertanggung jawab.
Logika, berpusat pada konsekuensi. Semua kesalahan memiliki konsekuensi yang logis. Konsekuensi tersebut tentu saja juga diiringi dengan empati. Kita harus tetap mendampingi dan memberikan petunjuk kepada anak ketika mereka menjalani konsekuensi ini.
Pengertian yang penuh cinta terhadap kekecewaan, frustasi dan rasa sakit yang dialami anak nantinya akan mendorong kekuatan perubahan fikiran dari orang tua untuk membiarkan anaknya menerima konsekuensi tersebut.
 
Lebih baik kita mengalami sedih sedikit ketika ia belajar dari pengalamannya daripada kita mengalami kesedihan yang mendalam ketika anak sudah besar tetapi tidak bertanggung jawab.
 
Cinta dan sikap orang tua adalah "KUNCI" bagaimana anak menangani masalahnya ketika ia remaja. Janganlah kita takut dicap jelek karena kita "tega" dalam mendidik anak.
Hindarilah menggunakan kata tanggung jawab, karena semakin banyak disebutkan, maka semakin tidak dilakukan anak. Tanggung jawab tidak diajarkan, melainkan DI CONTOHKANdan DIBUKTIKAN. 
 
Mencontohkan tanggung jawab:
Letakkan tanggung jawab berfikir dan mengambil keputusan pada anak sejak dini, misalnya dengan kata "bagaimana menurutmu",dll. Berikan anak pilihan Kesalahan anak adalah kesempatan. Tanggung jawab memerlukan kesempatan. Oleh karena itu berikan anak kesempatan untuk bertanggung jawab ketika mereka melakukan kesalahan. Orang tua harus mengetahui kapan untuk ikut campur, kapan untuk membiarkan. Orang tua harus mengurangi kontrol agar anak dapat mengontrol dirinya sendiri. Orang tua yang mengasuh anak yang bertanggung jawab, waktu dan tenaganya akan lebih sedikit untuk gusar tentang tanggung jawab anaknya. Mereka akan lebih terpusat bagaimana anaknya punya kesempatan untuk belajar dari perilaku yang tidak bertanggung jawab.
 
 
 
 
The "V"of love ini maksudnya adalah kita harus memberikan batasan yang cukup ketat sejak anak lahir untuk membangun fondasi yang kuat ketika anak dewasa. Seiring perkembangannya, batasan itu akan menjadi lebih longgar karena anak sudah dapat memutuskan dan memberikan batasan pada dirinya sendiri. Sebaliknya jika anak ketika kecil tidak diberikan batasan maka ketika dewasa, ia tidak akan memiliki fondasi yang kuat.
 
Dengan memiliki fondasi yang kuat, maka anak dapat bertanggung jawab kepada Allah, terhadap dirinya sendiri, terhadap keluarga, terhadap alam dan nantinya dapat bertanggung jawab terhadap masyarakat.
 
Anak yang bertanggung jawab akan tumbuh harga diri dan rasa percaya diri yang nantinya akan dapat berprestasi dan hidup mandiri. Ia juga akan tahu jika ia mengabaikan tanggung jawab maka ia harus menanggung konsekuensinya.
 
Keempat, Konsep Diri. 
 
Ada 3 kaki konsep diri, yaitu :
Saya dicintai orang sekitar saya. Saya yakin saya punya kemampuan. Saya mampu mengontrol hidup saya.  Tanamkanlah konsep diri ini sejak dini. Biarkan anak mengetahui bahwa ia dicintai oleh orang sekitarnya dan berikan anak kesempatan agar ia dapat yakin bahwa ia mampu melakukan sesuatu dan juga mampu untuk mengontrol hidupnya sendiri.
Dengan memiliki konsep diri yang baik, maka anak dapat Berpikir, Memilih dan Mengambil Keputusan sendiri.
 
Tips mengasuh dengan cinta dan logika:
Buat batasan yang jelas Berikan anak "Thinking words" daripada "Fighting Words". Keduanya memiliki tuntutan yang sama, tetapi tentu saja dengan reaksi yang berbeda. Biarkan anak salah asalkan tidak bahaya Tekankan kekuatan yang dimilikinya Hindari mengeritik dan terlalu melindungi. Ketika anak berbuat salah, maafkanlah Jangan mudah marah-marah Minta ampunkan pada Allah SWT. Bermusyawarahlah dengan mereka Tutuplah aib anak, jangan disebarluaskan kemana-mana, terutama ke social media. Jika memang mereka salah, jangan langsung mengoreksi dan merusak harga diri mereka Jika mereka berhasil, berikan penghargaan.  
Jika memang anak sudah terlanjur memiliki masalah, buatlah daftar yang ingin diperbaiki. Buat prioritas mana yang didahulukan. Tetapkan goal untuk diri sendiri. Berikan target yang realistis. Belajarlah komunikasi yang baik, Lengkapi diri dengan pengetahuan yang cukup, Siapkan mental anda. Jangan biarkan anak "Melayari pikiran orang tua", andalah yang harus bisa "Melayari pikiran anak". Sediakanlah waktu dan tidak tergesa-gesa dalam menangani masalah.
 
 
"Anak belajar dari yang dia lihat. Anak belajar dari yang dia dengar. Anak belajar dari yang dia rasakan."
 
 Seringlah "menyapa" emosi anak, agar anak memiliki pengetahuan tentang bentuk emosi dan mengenali macam-macam emosi. Baik itu emosi yang positif maupun negatif. Orang seringkali salah treatment karena mereka tidak dapat mengetahui emosi yang sebenarnya dialami.
"Kenali bakat dan potensi anak, galilah keinginannya dan asuhlah anak dengan menggunakan cinta dan logika."

source: http://udjomio.blogspot.com/2011/03/seminar-mendidik-anak-dengan-cinta-dan.htm