Mendidik 1.3 Milyar Manusia

Oleh : Ratna Megawangi

MINGGU lalu penulis sempat mengunjungi Lapangan Tiananmen di Beijing. Tempat tersebut memang amat terkenal, karena sempat menjadi perhatian di seluruh dunia ketika terjadi protes mahasiswa terbesar di Republik Rakyat Cina pada Juni 1989. Katanya tempat tersebut selalu ramai, bahkan kalau hari-hari libur sulit bagi kita untuk melihat lantainya karena begitu banyaknya manusia.

Banyak sekali objek menarik yang dapat kita kunjungi di sana, misalnya Mausoleum Mao Tse Tung yang jasadnya masih terlihat segar terbujur, monumen bersejarah, People's House, museum, dan Forbidden City (istana yang dibangun lebih 500 tahun yang lalu).

Namun, ada satu hal yang membuat penulis kagum, yaitu dengan puluhan ribu orang yang berlalu-lalang di tempat yang begitu luas, tidak ada satu pun sampah yang bergeletak di sana. Di seluruh tempat keramaian yang penulis kunjungi di Beijing, tidak sekali pun dapat menemukan sampah tergeletak di jalan. Padahal, manusianya begitu banyak, dan masih banyak penduduk yang miskin.Di Indonesia, di tempat-tempat keramaian pasti identik dengan sampah berserakan. Penulis pernah saksikan di sebuah ruangan seminar di Jakarta yang dihadiri para guru yang jumlahnya tidak sampai 100 orang. Setelah seminar berakhir, lantai ruangan penuh berserakan kotak-kotak snack, gelas air minum kemasan, dan plastik. Bayangkan, di sebuah ruang kecil yang dihadiri para guru yang kerjanya mendidik manusia, tetapi sudah bisa mengotori sebuah ruangan!

Penulis jadi tertarik untuk mengetahui, mengapa negara Cina yang relatif baru bangkit dari keterpurukan ekonomi, sosial, dan budaya akibat Revolusi Kebudayaan yang dijalankan oleh Mao, bisa begitu cepat mengejar ketertinggalannya? Padahal, pada akhir 1970-an, kita masih melihat bagaimana miskinnya rakyat Cina yang masih memakai baju hitam atau abu-abu. Terus terang, tidak terasakan adanya perbedaan yang menyolok antara ketika penulis sedang di Beijing, dan di Tokyo, Seoul, Hong Kong, ataupun Singapura.

Kebetulan, ketika sedang transit di Bandara Changi Singapura dalam perjalanan ke Beijing, penulis sempat mencari buku tentang sejarah Cina, dan menemukan sebuah buku yang ditulis oleh Li Lanqing (mantan Wakil PM Cina), berjudul Education for 1.3 Billion (Pearson Education and China: Foreign Language Teaching & Research Press, 2005). Setelah membaca buku tersebut, bisa dimengerti mengapa Cina bisa begitu cepat maju, karena reformasi pendidikan yang dijalankan di Cina tampaknya berhasil membentuk SDM yang memang cocok untuk iklim modern.

Terus terang, cukup surprised membaca pemikiran Li Lanqing, seorang politikus dan birokrat, tetapi anehnya mempunyai pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang pendidikan. Semua kebijakan yang diambilnya dalam mereformasi pendidikan di Cina, diinspirasikan oleh berbagai buku yang dibacanya, misalnya, ia menguasai bagaimana perkembangan hasil riset otak dari sejak tahun 1950-an sampai tahun 1990-an, sehingga ia mengerti bahayanya sistem pendidikan yang terlalu menekankan hapalan, drilling, dan cara mengajar yang kaku, termasuk sistem pendidikan yang berorientasi hanya untuk lulus dalam ujian.

Ia juga terinspirasi pemikiran Howard Gardner tentang multiple intelligences, yang ia baca buku-bukunya sejak Frames of Minds (1983). Li Lanqing begitu antusias untuk menerapkan berbagai teori mutakhir ke dalam sistem pendidikan di Cina, dan menurutnya: "I am interested in it because I want to call the attention of our educators and scientists ....so that education in this nation can be made to enhance people's all-round development and tap the potential of human resources to the fullest measure" (hal 316-317). Namun, Li Lanqing juga masih membawa nilai-nilai luhur Cina ke dalam reformasi pendidikannya.

Pendidikan Karakter

Dalam program reformasi pendidikan yang diinginkan oleh Deng Xiaoping pada tahun 1985, secara eksplisit diungkapkan tentang pentingnya pendidikan karakter: Throughout the reform of the education system, it is imperative to bear in mind that reform is for the fundamental purpose of turning every citizen into a man or woman of character and cultivating more constructive members of society (Decisions of Reform of the Education System, 1985). Karena itu program pendidikan karakter telah menjadi kegiatan yang menonjol di Cina yang dijalankan sejak jenjang pra-sekolah sampai universitas.

Tentunya, pendidikan karakter adalah berbeda secara konsep dan metodologi dengan pendidikan moral, seperti PPKN, budi pekerti, atau bahkan pendidikan agama di Indonesia. Pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good, yaitu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.

Sedangkan pendidikan moral, misalnya PPKN dan pelajaran agama, adalah hanya melibatkan aspek kognitif (hapalan), tanpa ada apresiasi (emosi), dan praktik. Sehingga jangan heran kalau banyak manusia Indonesia yang hapal isi Pancasila atau ayat-ayat kitab suci, tetapi tidak tahu bagaimana membuang sampah yang benar, berlaku jujur, beretos kerja tinggi, dan menjalin hubungan harmonis dengan sesama.

Kebijakan reformasi pendidikan ke arah pembentukan karakter memang terus mendapat dukungan secara eksplisit oleh Presiden Jiang Zemin, yaitu melalui pidato-pidatonya. Sehingga, seperti yang diungkapkan oleh Li Lanqing: "After many years of practice, character education has become the consensus of educators and people from all walks of life across this nation. It is being advanced in a comprehensive way". Pendidikan karakter memerlukan keterlibatan semua aspek dimensi manusia, sehingga tidak cocok dengan sistem pendidikan yang terlalu menekankan hapalan dan orientasi untuk lulus ujian (kognitif). Hampir semua pemimpin di Cina, dari Jiang Zemin, Li Peng, Zhu Rongji sampai Hu Jianto dan lainnya, sangat prihatin dengan sistem pendidikan yang terlalu menekankan aspek kognitif saja, yang dianggap dapat "membunuh" karakter anak, misalnya PR yang terlalu banyak, pelajaran yang terlalu berat, orientasi hapalan dan drilling, yang semuanya dapat membebani siswa secara fisik, mental, dan jiwa (hal 336).

Bahkan pada tanggal 1 Februari, 2000, Presiden Jiang Zemin mengumpulkan semua anggota Politburo khusus untuk membahas bagaimana mengurangi beban pelajaran siswa melalui adopsi sistem pendidikan yang patut secara umur dan menyenangkan, dan pengembangan seluruh aspek dimensi manusia; aspek kognitif (intelektual), karakter, aestetika, dan fisik (atletik).

Walaupun masih belum sempurna, dengan ideologi komunisnya, tampaknya Cina ingin menunjukkan "wajah" yang berbeda dari negara komunis lainnya. Mungkin Cina bisa mewujudkan impian para pemikir sosialis yang berseberangan dengan pemikiran Karl Marx, seperti Proudhon dan Robert Owen, bahwa kesadaran moral sosialis sejati harus menjadi alat untuk mencapai tujuan akhir ideologi sosialisme, dan praksisnya adalah bagaimana menyiapkan manusia untuk mempunyai karakter seorang sosialis sejati (persaudaraan antarmanusia; saling peduli, dan berkeadilan). Karl Marx justru tidak setuju dengan pemikiran itu, karena kesadaran moral sosialis baginya adalah hanya tujuan akhir, dan praksisnya adalah perubahan struktur masyarakat yang tidak ada kaya-miskin, dengan pemaksaan atau kediktatoran (bertentangan dengan moral sosialis sejati)--- the end justifies the means.

Kekuatan Dahsyat

Apabila Cina bisa berhasil mendidik 1,3 miliar manusianya menjadi manusia yang berkarakter (rajin, jujur, peduli, dan sebagainya), maka jumlah penduduk sebesar itu akan menjadi kekuatan yang amat dahsyat bagi kemajuan Cina. Inilah yang membuat para pakar Amerika Serikat deg-degan, seperti kata Bill Bonner yang mengkhawatirkan kondisi AS di masa depan: "Bisa dibayangkan dalam waktu 20 atau 30 tahun ke depan, mungkin akan banyak orang Amerika yang mencari pekerjaan sebagai baby sitter di Cina."

Nah, apabila Cina bisa melakukan pendidikan karakter untuk 1,3 miliar manusianya, Indonesia tentunya bisa melakukannya. Namun, gaung pendidikan karakter belum banyak terdengar dari para pemimpin kita. Tentunya, sebagai warga negara yang bertanggung jawab, kita semua bisa melakukannya di lingkungan terkecil kita; keluarga dan sekolah.

Source: SUARA PEMBARUAN DAILY