Memaknai Kesuksesan Pendidikan

Mungkin kita agak bosan karena seringnya membaca autobiografi banyak tokoh yang dengan bangga menceritakan betapa susahnya masa kecil mereka di desa, lalu dengan perjuangan yang keras dan gigih akhirnya sukses di kota lalu menjadi tokoh dengan sederet atribut gelar. Ukuran suksesnya biasanya menjadi pejabat, konglomerat atau anggota dewan terhormat.

Kesuksesan dimaknakan sebagai keunggulan yang harus ada di pusat-pusat kekuasaan baik level nasional maupun internasional baik manusia maupun produk. istilah-itilah terkait kesuksesan sosial seperti istilah Pemimpin, selalu diidentikan dengan pemimpin dalam arti kekuasaan.

Novel-novel yang laris manis sukses di pasaran, tak terkecuali Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta dan yang baru-baru ini jadi pembicaraan, Lima Menara, adalah sebagian saja cerita anak-anak miskin yang berjuang lalu eksodus dan sukses di Kota Negara atau Kota Dunia. Yang ini malah ukuran suksesnya adalah "Belajar ke Luar Negeri" atau "sukses hidup" di negeri orang. Potret orang sukses adalah potret mereka yang ada di pusat kekuasaan.Kapan cerita dan tradisi ini dimulai? Sejak jaman Belanda? Begitu berhasilkah program Politik Etis Belanda yang memberikan fasilitas bagi kalangan Pribumi Priyayi untuk sekolah tinggi lalu menjadi pejabat2 di kota besar atau bisa ke Luar Negeri, sehingga ketika kasta2 itu dihapuskan saat kemerdekaan, hampir kebanyakan kita, bangsa Indonesia, mengukur kesuksesan dari ukuran-ukuran ini.

Warisan budaya "minder" inlander ini, nampaknya masih bercokol dan berlangsung terus sampai hari ini. Ketika bangsa-bangsa lain sibuk mencari keunggulan bangsanya sebagai modal kompetisi, bangsa ini sibuk mencari keunggulan bangsa lain lalu menirunya dengan "ngos-ngosan" dengan harapan mampu ikut berkompetisi, padahal berkompetisi bukan berbarti menciptakan sesuatu yg sejenis. Meminjam istilah De Bono - Surpetition. Saya dikenalkan istilah ini oleh ustadz Adriano Rusfi . Mungkin ini yang dimaksud "Blue Ocean Strategy by focus on Local Uniqueness or Local Advantage".

Jika mau jujur, pendidikanlah yang tanpa sadar melestarikan budaya "minder" dan budaya "mengekor" ini. Sistem Pendidikan kita, lihat saja, meluncurkan berbagai program dan inisiatif yg diarahkan kepada pendidikan berorientasi industri atau berorientasi kompetensi & kompetisi industri global, padahal jelas-jelas Indonesia dalam industri itu jauh tertinggal. Mau menyusul? Ya, mohon maaf, sudah terlalu jauh. Bukan tidak bisa, namun tidak tepat dan banyak membuang energi. Kompetisinya bahkan menjadi tidak sehat.

Meminjam istilah Abah Rama, daripada menguatkan kelemahan lebih baik menguatkan kelebihan. Atau meminjam istilah Sun Tzu, bahwa syarat kemenangan adalah memukul titik kelemahan lawan dengan titik kekuatan kita!.

Jika bersikeras untuk menguatkan kompetensi Global Industry, silahkan dibuktikan, sebagaimana Prof. Habibie dengan IPTN nya, Proven! Tetapi jika disimak mendalam filosofi Habibie adalah berangkat dari pemenuhan kebutuhan dalam Negeri atas keunikan alamnya, yaitu bangsa yang terdiri dari ribuan pulau ini harus terhubung dengan transportasi buatan sendiri yang murah dan bagus.

Filosofinya bukan ingin kompetisi, namun ingin sur-petisi. Saya kira pengembangan pesawat udara, kapal laut dan kereta listrik harusnya lebih penting dilanjutkan, dan pendidikan seharusnya diarahkan kesana.

Saya kira sukar utk menyebutkan, sekolah mana saat ini yg memiliki kemampuan kompetensi global industry tsb. Kalaupun ada pastinya hanya bersifat teknis, belum terintegrasi dalam sebuah kekuatan dari sinergi berbagai kompetensi yang diperlukan termasuk non-teknis dan dukungan regulasi yg kuat. Alumninya hampir bisa dipastikan "ngacir" semua keluar negeri.

Mengapa pendidikan kita tidak diarahkan kepada pengembangkn potensi keunggulan bangsa Indonesia sendiri atau kepada Sumber Daya Alam dan Sosial (SDA) negeri sendiri termasuk Sumber Daya Sosial (SDS) yang ada? Mengapa kesuksesan pendidikan kita tidak diorentasikan kepada keberhasilan melahirkan kompetensi keunggulan lokal? Ukuran suksesnya sederhana, yaitu mampu mengembangkan potensi keunggulan lokalnya dengan landasan kearifan lokalnya.

Pendidikan atau pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) sejatinya mengikuti potensi keunikan SDA dan keunikan SDS yang ada. Bila negeri ini memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang besar, keanekaragaman hayati (biodiversity) yang dahsyat, seharusnya sekolah kejuruan maupun sekolah non kejuruan diarahkan kepada pengembangan kompetensi untuk pemanfaatan MiGas, Panas Bumi, Panas Matahari, Energi Terbarukan BioFuel, Kehutanan, Perikanan, Ukiran, Batik, Gerabah dstnya.

Ukuran kesuksesan pendidikan bukan lagi dilihat dari kesuksesan individu melanglang entah kemana, namun juga diukur dari seberapa sukses pendidikan menghasilkan manusia yang mampu memberi manfaat langsung kepada desa dan komunitasnya dengan cara mengembangkan potensi keunikan lokal berupa alam, ekonomi, sosial dilandasi kearifannya.

Menakar suksesnya pendidikan adalah menakar seberapa pendidikan bermanfaat bagi Masyarakat sekitarnya dimana Pendidikan itu ada! Bukankah karena ada pendidikan maka terbangunlah masyarakat dan peradaban bukan sebaliknya.

‘Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak puas, dan dari do’a yang tidak didengar”.

Salam Pendidikan Masa Depan