Membangun Karakter via Pengembangan Bakat

Belum lama ini, saya mendapat kesempatan mengunjungi sebuah sekolah sepakbola di Solo. Sekolah itu oleh sang pendirinya tidak mau disebut sekolah, mereka lebih suka menyebutnya pendidikan. Pendidikan Sepakbola ini didirikan oleh sepasang suami istri yang sudah berusia senja, 14 tahun yang lalu. Mereka adalah pasangan yg mencintai pendidikan dan anak-anak tetapi anehnys mereka sekeluarga sama sekali tidak menyukai olahraga sepak bola walau mereka lulusan STO (sekolah tinggi olahraga).

Awalnya mereka prihatin menyaksikan betapa negeri ini sudah kehilangan nilai dan akhlak mulia. Banyak orang curang, korup, serakah, tidak jujur, suka curang, menjegal dan tawuran. Nilai-nilai dipahami sekedar hafalan dan slogan-slogan kosong.

Di sisi lain, mereka juga melihat karakter kinerja bangsa ini melemah, menjadi pemalas, mudah menyerah, tergesa-gesa, lamban mengambil keputusan, kurang visioner, stamina kendur, gagal menyelesaikan dengan sempurna dsbnya. Mereka melihat semua potret keburukan akhlak di negeri ini terangkum dalam panggung olahraga bernama sepakbola.

Sepakbola menjadi pilihan karena, pertama murah meriah dan disukai anak2 sampai ke pelosok kampung, dan yang kedua adalah sepak bola tidak hanya berbicara skills, namun menurut mereka 80% adalah moralitas. Mereka meyakini bahwa berbicara nilai tidak cukup sampai tingkat pemahaman, dia harus inherent kedalam kehidupan, harus terekam dalam perbuatan dan sikap lalu membentuk diri siswa.

Pengetahuan dan sesuatu yang menjadi diri memang berbeda. Sering, kita sudah merasa “menjadi”, hanya karena kita mengetahui dan meyakini sesuatu. Tetapi, sesungguhnya ada jurang yang halus tapi sangat lebar antara mengetahui/meyakini dan menjadi diri. Ketika kita berbenturan dengan realitas yang mengusik “kepentingan” pribadi, kita akan mengetahui apakah sesuatu itu hanya sekedar pengetahuan/keyakinan atau sudah menjadi diri kita.

Anak-anak ini nampak berkembang wajar, tidak ada tekanan untuk juara, namun dorongan utk selalu jujur dan mengutamakan pertemanan dan sportifitas (moral). Anehnya mereka selalu memenangkan pertandingan, krn kebanyakan dari lawan mereka umumnya bermain curang. Hal-hal seperti "mencatut umur" adalah hal yang diharamkan di pendidikan sekolah sepakbola mereka.

Saya yakin kemenangan itu sebagian besar kekuatan moral mereka. Dan lucunya mereka hampir selalu menang di babak kedua, ketika lawan kehabisan nafas karena nafsu menang dan demoralisasi karena curang, sementara anak2 ini mampu bermain dengan moralitas tinggi, jujur, tidak menciderai lawan dan tenang sehingga berpengaruh kepada ketenangan jiwa dan stamina karena pernafasan yg teratur.

Anak2 itu memang akhirnya tidak selalu menjadi pemain bola, sebagian menjadi dosen yg bermoral, sebagian menjadi pelatih yg mewarisi nilai-nilai tadi, sebagian menjadi orang biasa yg jujur, dan sebagian memang ada yang menjadi pemain nasional.

Tidak kurang dari 15 anak didik mereka yg menjadi pemain nasional dari sekitar 120 anak yg bergabung. Pihak pengelola tidak memungut bayaran apapun kepada kesebelasan nasional yg ingin merekrut anak2 mereka, semua diserahkan kepada anak2 itu baik keputusan maupun bayaran.

Di sekolah ini saya menangkap beberapa hal penting, yaitu:
1. Kekeluargaaan adalah segalanya
2. Keteladanan pendiri dan pelath serta komunitas yang konsisten dengan nilai-nilai yang mereka tanamkan.
3. Nilai-nilai yang menjadi Belief bersama, spt pentingnya kejujuran, keshabaran, menahan amarah, ketenangan, kebersamaan dll.
4. Kekuatan Komunitas dan pembinaan orangtua
5. Pendidikan yang bertahap dan manusiawi.

Pendidikan Sepak Bola ini sangat2 murah, sekitar 30rb per-bulan, biasanya utk iuran sewa lapangan, walau kadang2 seret bayarnya. Kebanyakan adalah anak2 tukang becak, anak2 tidak mampu dsbnya. Semua pelatih adalah mahasiswa dan dosen yang 100% tidak dibayar namun memiliki "belief" dan nilai2 yg sama. Percaya atau tidak, sekolah ini merancang alat-alat latihannya sendiri.

Saat ini sang Suami sudah dipanggil Allah swt, namun sang Istri dan komunitasnya tetap istiqomah dengan model pendidikannya yang unik ini. Sang istri adalah pemegang medali emas atletik untuk kelompok usia lansia.

Saya semakin menyadari, ternyata ada pendidikan berbasis komunitas untuk pengembangan bakat yang mampu membangun jatidiri anak-anak kita melalui bakatnya itu sekaligus membangun karakternya dan tidak bertujuan untuk juara. Juara bagi sekolah ini hanyalah bonus bagi kemenangan sejatinya yaitu keberhasilan pengembangan akhlak.

Jadi tidak perlu pusing-pusing berbicara pendidikan berbasis komunitas yang membentuk jatidiri anak2 dengan mengembangkan bakat sekaligus karakter, sudah ada yang memulai kan? Jadi siapa yang mau menyusul?