Mengenal Anak ADHD

Sejak TK beliau di"strap". Ketika TK, beliau di"strap" karena tidak membawa piring ketika acara makan kacang hijau, ketika SD beliau di"strap" lagi karena bermain benteng di kelas dan itu berkali-kali. Ketika di SMP beliau di"strap" lagi karena membagi petasan banting dan bermain di kelas. Ketika SMA bahkan menjadi pelopor tawuran, bahkan setamat SMA karena nakal minta ampun, pernah disalib oleh orang tuanya di tiang jemuran dari pagi sampai pagi lagi.

Bang Lendo berkata, "Saya tidak pernah meminta kepada Tuhan, bahwa saya nakal seperti itu, tidak ada orang yang berharap dan bermimpi menjadi nakal"

Ketika kuliah bahkan dipenjara oleh Suharto selama tujuh bulan. Ketika dipenjara beliau merenung, "kenapa harus saya yang nakal, sejak kecil distrap, padahal tidak pernah bermimpi menjadi nakal"

Anda mau tahu mengapa bang Lendo ketika itu dianggap "nakal" luar biasa? Ternyata belau adalah ADHD. Saat itu belum ada alat ukur yang cukup untuk mendeteksi ADHD.
Dalam sebuah milist bahkan ternyata banyak pula Guru dan Pendidik yang tidak memahami gejala ADHD apalagi cara menanganinya.

Berikut adalah sekedar tulisan pengantar diskusi, untuk berbagi pengalaman bila teman-teman menemukan kasus ADHD dan sebagainya.

Mendidik 1.3 Milyar Manusia

Oleh : Ratna Megawangi

MINGGU lalu penulis sempat mengunjungi Lapangan Tiananmen di Beijing. Tempat tersebut memang amat terkenal, karena sempat menjadi perhatian di seluruh dunia ketika terjadi protes mahasiswa terbesar di Republik Rakyat Cina pada Juni 1989. Katanya tempat tersebut selalu ramai, bahkan kalau hari-hari libur sulit bagi kita untuk melihat lantainya karena begitu banyaknya manusia.

Banyak sekali objek menarik yang dapat kita kunjungi di sana, misalnya Mausoleum Mao Tse Tung yang jasadnya masih terlihat segar terbujur, monumen bersejarah, People's House, museum, dan Forbidden City (istana yang dibangun lebih 500 tahun yang lalu).

Namun, ada satu hal yang membuat penulis kagum, yaitu dengan puluhan ribu orang yang berlalu-lalang di tempat yang begitu luas, tidak ada satu pun sampah yang bergeletak di sana. Di seluruh tempat keramaian yang penulis kunjungi di Beijing, tidak sekali pun dapat menemukan sampah tergeletak di jalan. Padahal, manusianya begitu banyak, dan masih banyak penduduk yang miskin.

Membangun Karakter via Pengembangan Bakat

Belum lama ini, saya mendapat kesempatan mengunjungi sebuah sekolah sepakbola di Solo. Sekolah itu oleh sang pendirinya tidak mau disebut sekolah, mereka lebih suka menyebutnya pendidikan. Pendidikan Sepakbola ini didirikan oleh sepasang suami istri yang sudah berusia senja, 14 tahun yang lalu. Mereka adalah pasangan yg mencintai pendidikan dan anak-anak tetapi anehnys mereka sekeluarga sama sekali tidak menyukai olahraga sepak bola walau mereka lulusan STO (sekolah tinggi olahraga).

Awalnya mereka prihatin menyaksikan betapa negeri ini sudah kehilangan nilai dan akhlak mulia. Banyak orang curang, korup, serakah, tidak jujur, suka curang, menjegal dan tawuran. Nilai-nilai dipahami sekedar hafalan dan slogan-slogan kosong.

Di sisi lain, mereka juga melihat karakter kinerja bangsa ini melemah, menjadi pemalas, mudah menyerah, tergesa-gesa, lamban mengambil keputusan, kurang visioner, stamina kendur, gagal menyelesaikan dengan sempurna dsbnya. Mereka melihat semua potret keburukan akhlak di negeri ini terangkum dalam panggung olahraga bernama sepakbola.

Memaknai Kesuksesan Pendidikan

Mungkin kita agak bosan karena seringnya membaca autobiografi banyak tokoh yang dengan bangga menceritakan betapa susahnya masa kecil mereka di desa, lalu dengan perjuangan yang keras dan gigih akhirnya sukses di kota lalu menjadi tokoh dengan sederet atribut gelar. Ukuran suksesnya biasanya menjadi pejabat, konglomerat atau anggota dewan terhormat.

Kesuksesan dimaknakan sebagai keunggulan yang harus ada di pusat-pusat kekuasaan baik level nasional maupun internasional baik manusia maupun produk. istilah-itilah terkait kesuksesan sosial seperti istilah Pemimpin, selalu diidentikan dengan pemimpin dalam arti kekuasaan.

Novel-novel yang laris manis sukses di pasaran, tak terkecuali Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta dan yang baru-baru ini jadi pembicaraan, Lima Menara, adalah sebagian saja cerita anak-anak miskin yang berjuang lalu eksodus dan sukses di Kota Negara atau Kota Dunia. Yang ini malah ukuran suksesnya adalah "Belajar ke Luar Negeri" atau "sukses hidup" di negeri orang. Potret orang sukses adalah potret mereka yang ada di pusat kekuasaan.

Ibu untuk Anak Kita

Kunci untuk melahirkan anak-anak yang tajam pikirannya, jernih hatinya dan kuat jiwanya adalah mencintai ibunya sepenuh hati. Kita berikan hati kita dan waktu kita untuk menyemai cinta di hatinya, sehingga menguatkan semangatnya mendidik anak-anak yang dilahirkannya dengan pendidikan yang terbaik. Keinginan besar saja kadang tak cukup untuk membuat seorang ibu senantiasa memberikan senyumnya kepada anak. Perlu penopang berupa cinta yang tulus dari suaminya agar keinginan besar yang mulia itu tetap kokoh.

Uang yang berlimpah saja tidak cukup. Saat kita serba kekurangan, uang memang bisa memberi kebahagiaan yang sangat besar. Lebih-lebih ketika perut dililit rasa lapar, sementara tangis anak-anak yang menginginkan mainan tak bisa kita redakan karena tak ada uang. Tetapi ketika Allah telah memberi kita kecukupan rezeki, permata yang terbaik pun tidak cukup untuk menunjukkan cinta kita kepada istri. Ada yang lebih berharga daripada ruby atau berlian yang paling jernih. Ada yang lebih membahagiakan daripada sutera yang paling halus atau jam tangan paling elegan.